Archive | April 2014

Longway to Bungalo: Catatan Singkat Perjalanan di Selatan Parahyangan

10259809_10202020192730783_2665588519671333073_nAku, Mar, dan Dwi berangkat ke Gunung Wayang kemarin lusa. Kami berkunjung ke tempat tinggal Aang, seorang kawan satu organisasi semasa kuliah dulu yang kini mengajar di sebuah sekolah yang berada di kaki gunung Wayang, desa Cibeureum, Kertasari, Kabupaten Bandung. Berangkat menjelang sore, dengan dua sepeda motor tangguh kami mulai melaju menuju dataran tinggi selatan via Ciparay-Pacet-Kertasari. Saat itu, aku tak menyangka jika perjalanan kali ini akan menjadi salah satu perjalanan paling menarik yang pernah aku alami.

IMG-20140418-00341Tiba sekitar sore hari, kami langsung disambut Aang di sekolah tempatnya mengajar, sebuah kompleks pesantren MI (Ibtidaiah/SD) hingga MA (Aliyah/SMA) lengkap dengan kobongnya. Kobong adalah sebutan di sana untuk asrama santri. Dan karena sekolah sedang libur, kami beristirahat di sebuah ruang guru khusus MA. Ruangan ini berada di lantai atas yang kaca dindingnya langsung menghadap ke jajaran bukit puncak Gunung Wayang. It was a best view ever.

Setelah magrib kami diajak makan ke sebuah kobong santriwati, di mana mereka sudah membantu memasak makanan untuk kami. Makanan yang sangat sederhana, hanya dengan telur, lalapan, dan sambal, namun tak bisa dipungkiri sungguh nikmat rasanya. Selepas itu Aang langsung mengajak kami menuju Cibolang, sebuah tempat pemandian air panas di daerah Pangalengan. Sangat menarik, Cibolang adalah tempat terapiku semasa kecil saat aku masih terjangkit penyakit paru-paru dan semasa ayahku masih bertugas di daerah tersebut. “Kali ini aku datang dari Ciparay, dan lalu akan tiba di Pangalengan!?”, aku berpikir heran. Sebuah jalur tak terduga yang sangat excited karena pasti mampu menghanyutkanku di jalur pedalaman selatan dataran Sunda yang eksotis.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami tiba di Cibolang. Saat perlahan badan kami mulai mencelupkan diri ke dalam air belerang, saat perlahan kami mulai terbenam ke dalam kenyamanan alam yang memabukkan. Segelas bandrek dan semangkuk mie rebus kemudian melengkapi indahnya saat di malam itu. Puji Tuhan, sang maha pemberi kenyamanan. Malam harinya setelah pulang kembali, kami tidur di kobong bersama para santriwan yang masih berusia remaja.

Esok harinya Aang mengajak kami dan enam orang muridnya (Mis, Rani, Cipta, dkk.) untuk hiking bersama ke tempat yang mereka beri nama Bungalau. Sebuah puncak bukit tertinggi yang berada tepat di samping titik puncak Gunung Wayang. Pagi hari kami bergegas, menyusuri jalan kendaraan, berjalan kaki di jalur pedesaan dengan pemandangan hamparan perkebunan, bukit dan gunung yang berjajar asri dengan sangat indah. Sebuah terapi jiwa yang tiada tandingannya bagi kami, orang-orang kota yang berkeseharian dengan penat dan menjemukan.

Longway to nowhere, just feel the journey itself.

Kami kemudian mulai memasuki areal kebun teh, menanjak perlahan dengan energi udara gunung yang mensirkulasi kesegaran hingga ke dalam jiwa.

Aang adalah pribadi yang supel, someah, dan pandai berkomunikasi. Ia memiliki kemampuan untuk bisa membangun interaksi yang baik dengan semua orang. Termasuk dengan murid-muridnya, ia mampu berperan sebagai seorang guru yang egaliter namun tetap berwibawa. Sebuah hal di mana aku harus bisa belajar banyak darinya. Hubungan ini, guru dan murid, yang sejajar namun tetap penuh apresiatif, adalah problem utama yang saat ini sedang aku cermati. Sebuah titik concern yang selama ini mengacaukan pikiranku setiap hari. Hirarki Romantis Guru dan Murid.

Tiba di puncak Bungalo, berbagai bekal makanan kami buka, kami bagi, dan kami makan bersama.

IMG_20140419_113251

IMG_20140419_111849Setelah itu kami pulang dengan menyusuri turunan bukit yang cukup terjal. Selain untuk memotong jalan, juga agar bisa langsung tiba di sebuah danau yang sangat cantik, Situ Cisanti. Dari atas bukit pemandangan situ yang menggoda seakan memberi kami energi lebih untuk tetap semangat melawan rasa lelah, walaupun beberapa kali kami harus terjatuh di jalanan setapak yang penuh dengan belukar pepohonan.

Ratusan meter kami lalui bersama sebelum akhirnya tiba di pinggiran Situ Cisanti yang terasa menenangkan, alami, bersih, sejuk, dan asri.

IMG_20140419_135834Setelah beristirahat, kami melanjutkan perjalanan menyusuri areal perkebunan warga yang menghampar luas di sekitaran gunung Wayang. Terus berjalan, berbincang hangat, dan bercanda tawa hingga akhirnya kami semua sampai. Rani, tersenyum sambil berteriak saat kami berpisah di depan rumahnya, “Thanks for today..”, katanya. Ya, sisa murid yang lain kembali ke kobong dan kami berempat kembali ke sekolah.

Malam harinya Mis dan santriwati yang lain memasak kembali untuk kami, makanannya selalu sederhana, tapi selalu saja terasa nikmat. Menginap kembali di kobong, esok harinya kami kembali bergegas ke Bandung.

“Ya, saatnya kembali ke rutinitas”, pikirku.

Akhirnya, terima kasih untuk Aang, serta Mis dkk, untuk perjalanan singkat kita yang menyenangkan.:))

_MG_9616

Catatan Perjalanan “Menelusuri Jejak Mataram”

DSC00359-horz

CERITA KEGIATAN

Senin, 10 Maret 2014.

Tepat pukul 05:00 pagi, kami berkumpul di Stasiun Kiara Condong Bandung untuk keberangkatan kereta pukul 05:30 menuju Stasiun Solo Jebres Surakarta. Setelah memastikan semua teman-teman tiba di stasiun (kecuali Cal yang tidak jadi ikut karena mendadak sakit), kami semua mulai check-in ke dalam Stasiun dan mencari tempat duduk yang sudah ditentukan di dalam kereta. Tempat duduk untuk satu kelompok ditentukan saling berdampingan, namun setiap kelompok menempati gerbong yang berbeda. Di gerbong satu ada kelompok Jeremy, gerbong dua kelompok Santi, gerbong tiga kelompok Evan, dan gerbong empat kelompok Gio, sedangkan gerbong lima khusus untuk kakak.

Berangkat pukul 05:30, kereta Pasundan mulai melaju melewati beberapa stasiun seperti Cicalengka, Nagreg, Cibatu, Cipeundeuy, Tasik, Ciamis, Banjar, Sidareja, Kawunganten, Jeruklegi, Kemranjen, Kebumen, Kutoharjo, Lempuyangan, hingga tiba di Solo Jebres sekitar pukul 15:30 sore.
Perjalanan selama hampir 10 jam terasa sangat panjang. Di sela waktu perjalanan, kami saling berkunjung ke kelompok di gerbong lain. Beberapa teman juga terlihat aktif berinteraksi dengan penumpang yang duduk berdampingan.

Tiba di Stasiun Solo Jebres kami langsung berjalan kaki menuju Halte Bus Jebres untuk naik angkutan mini bus tujuan Laweyan. Setelah turun di gapura Kampung Laweyan pertigaan Mesjid, kami melanjutkan berjalan kaki menuju Dalem Djimatan. Namun, di tengah perjalanan menuju Djimatan kami mampir terlebih dahulu di sebuah restoran yang sangat menarik, namanya Restoran Rumah Nenek, yang terletak tidak jauh dari lokasi Djimatan. Selain harga makanan yang terjangkau, restoran ini menawarkan tempat yang nyaman dan berkesan, karena bertempat di salah satu rumah peninggalan saudagar Batik Laweyan tempo dulu yang berarsitektur campuran Jawa-Eropa.

DSC00201-horz

Menjelang petang kami langsung bergegas menuju Dalem Djimatan, sebuah tempat konservasi budaya Batik yang dikelola oleh Universitas Islam Batik Surakarta (Uniba). Di sana kami langsung disambut oleh Pak Anhar dan Pak Rahmat selaku pengelola Djimatan. Setelah kami beristirahat dan membersihkan diri, tidak lama kemudian Pak Rahmat mengundang anak-anak warga sekitar untuk mengajarkan kelompok Marlin bermain gamelan. Kurang dari dua jam teman-teman Marlin sudah bisa bermain gamelan sendiri. Akhirnya untuk beberapa waktu kami bermain gamelan bersama. Sebuah pengalaman yang seru dan langka.

Malam harinya kami mencoba jajanan Nasi Liwet di depan jalan. Setelah itu kami semua kembali ke Djimatan dan segera tidur.

Selasa, 11 Maret 2014

Pukul 04:00 pagi, saat semua kakak masih tertidur, teman-teman sudah bangun dan mulai ribut mengobrol di teras kamar. Akhirnya suara bising mereka membangunkan kakak. Mereka mengaku sulit tidur dengan nyaman karena proses adaptasi cuaca dengan udara di Jawa yang lebih panas dan lembab, selain mungkin karena antusiasme terhadap euforia outing yang cenderung membuat mereka selalu terjaga.

Menjelang matahari terbit, teman-teman sudah selesai mandi dan mulai bermain-main di dalam Djimatan. Kemudian mereka menyambut riang kak Robert yang baru datang menyusul.

Sekitar pukul 07:00 kegiatan pertama di hari ke dua mulai dilaksanakan, yakni eksplorasi di sekitaran kampung Laweyan. Semua kelompok mulai bergegas. Dalam kegiatan ini rombongan kami terpecah ke dalam enam kelompok, empat kelompok anak dan dua kelompok kakak.

Saya sendiri melakukan eksplorasi dengan kak Robert dan kak Taufan, di beberapa tempat kami berpapasan dengan kelompok-kelompok lain yang semuanya terlihat sangat bersemangat. Di antara tempat yang menjadi obyek perhatian dalam ekplorasi ini adalah Mesjid Tua Laweyan, makam Ki Ageng Henis & Ki Ageng Pemanahan sebagai pendiri desa Mataram, rumah-rumah kuno, serta tempat-tempat produksi dan penjualan batik di Laweyan.

DSC00286-tile

Setelah bereksplorasi, menjelang siang harinya kami semua berkumpul kembali di Dalem Djimatan. Kemudian kami melakukan diskusi di teras Djimatan bersama pak Anhar dan Pak Rahmat yang banyak membagi informasi dan pengetahuan seputar kampung batik Laweyan.

DSC00341-tile

Akhirnya, sekitar pukul satu siang kami semua harus berpamitan dengan Pak Rahmat dan meninggalkan Dalem Djimatan untuk menuju Keraton Kasunanan Surakarta. Perjalanan ke Keraton ditempuh dengan angkutan umum. Sayangnya, saat tiba di wilayah alun-alun Keraton, hujan mulai turun. Hingga menjelang sore hujan semakin lebat sehingga otomatis menghambat kegiatan eksplorasi di Keraton Surakarta. Posisi berteduh kakak yang berbeda dengan teman-teman juga akhirnya membuat kami saling menunggu hujan.

Karena cuaca yang tak kunjung bersahabat, menjelang sore semua kakak menyusul teman-teman di tempat mereka berteduh di Jalan Wirengan yang lokasinya cukup jauh. Setelah kakak bertemu dengan semua kelompok, kami semua langsung berjalan kaki mencari bus tujuan stasiun untuk segera menuju Yogyakarta. Sebuah mini bus kami carter, kemudian di stasiun Purwosari Solo kami langsung meluncur menuju stasiun Tugu Yogyakarta dengan kereta bisnis Madiun Jaya.

Tiba di Yogya sekitar pukul 07:00 malam, kami semua makan malam di angkringan sekitar stasiun, kemudian berjalan kaki menyusuri jalan Malioboro, menuju jalan Bhayangkara hingga tiba di rumah singgah jalan K.S. Tubun (Jalan Pathuk). Di sana kami langsung beristirahat dan segera tidur.

Rabu, 12 Maret 2014

Bangun pukul 05:00 pagi, kami langsung bergegas mempersiapkan diri kembali untuk kegiatan eksplorasi di wilayah Kotagede. Setelah berjalan kaki menuju Malioboro dan sarapan nasi pecel bersama, kami langsung menuju daerah Kotagede dengan Bus Trans Jogja dari halte Ahmad Yani. Di Kotagede setiap kelompok mulai “Menelusuri Jejak Mataram” dengan menyinggahi makam raja-raja awal Mataram, sisa peninggalan alun-alun dan benteng kerajaan, serta sentra perak dan rumah-rumah kuno milik masyarakat setempat.

DSC00406-tile

Kegiatan eksplorasi Kotagede berakhir di jalan Tegal Gendhu, di mana semua kelompok mulai berkumpul kembali dan beristirahat. Di sini kami menyambut Callista yang baru datang menyusul bersama ibunya. Selanjutnya kami semua bersiap untuk pulang ke rumah singgah dengan bus Trans Jogja. Tegalgendhu – Bhayangkara.

Petang harinya di rumah singgah, kegiatan dilanjutkan dengan berbagi cerita tokoh inspiratif Jokowi yang dibawakan oleh Kevin. Menjelang tidur anak-anak menulis surat terlebih dahulu untuk orang tua mereka yang akan dikirimkan dalam sesi kegiatan esok pagi.

Kamis, 13 Maret 2014

Pagi hari, kami bergegas kembali berjalan kaki menuju Jalan Wijilan untuk sarapan Nasi Gudeg khas Yogya. Kemudian menuju kantor pos untuk mengirimkan surat, dan -menggunakan bus Trans Jogja- langsung meluncur ke Keraton Pakualaman di Jalan Sultan Agung.

Setelah eksplorasi Keraton Pakualaman, kegiatan dilanjutkan dengan eksplorasi wilayah sekitar Keraton Kasultanan Yogyakarta. Perjalanan berakhir di alun-alun selatan. Setelah beristirahat sambil menunggu semua kelompok berkumpul, kami menyusuri sisa benteng selatan Keraton dan beristirahat bersama di ujung tenggara benteng.

DSC00498

Menjelang sore hari perjalanan dilanjutkan ke taman baca IBOEKOE di sekitar jalan Patehan. Malam harinya Pak Slamet selaku warga setempat berbagi cerita soal tema Tradisi Lisan.

DSC00506-tile

Setelah itu kami semua mengejar kembali Bus Trans Jogja untuk pulang ke rumah singgah dan beristirahat.

Jumat, 15 Maret 2014.

Bangun kembali sekitar pukul 05:00 pagi, kami langsung bergegas menuju pasar Pathuk untuk membeli sarapan. Semua makanan dibungkus untuk dimakan bersama di rumah. Kami semua kemudian sarapan bersama sambil membicarakan agenda “ekspolasi mandiri sisi lain Jogja”. Dalam kegiatan ini anak-anak dibebaskan menentukan pilihan sendiri untuk mengeksplorasi tempat lain yang mereka anggap menarik.

Akhirnya pilihan terbagi ke dalam tiga tujuan; Daerah Kampung Code, Museum Affandi, dan Kebun Binatang Gembiraloka. Gio dan Rico bersama Kak Taufan mulai bergegas menuju Kampung Code, kemudian Calista, Kinan, Santi, Evan, Kevin dan Jeremy bersama Kak Robert ke Museum Affandi, sedangkan Mutia, Faszya, Lian, Nisrina, Angel, dan Natasha bersama kak Rizky menuju Kebun Binatang Gembira Loka.

Sekitar pukul satu siang kami semua sudah berkumpul kembali di Museum Vredeburg. Sore harinya setelah berbelanja oleh-oleh, kegiatan terakhir adalah membersihkan rumah untuk kemudian bergegas menuju stasiun dan pulang ke Bandung.

Sekitar pukul lima sore kami semua berpamitan dengan Ibu Ratih dan keluarganya yang telah banyak membantu kami selama tinggal di rumah singgah. Setelah itu kami segera menuju stasiun Lempuyangan Yogya dengan menggunakan becak untuk mengejar kereta Kahuripan keberangkatan pukul 07:10 malam.

Sabtu pagi kami semua sudah tiba di stasiun Kiara Condong Bandung dengan selamat. Meninggalkan pengalaman seru dengan beragam kenangan tak terlupakan yang menarik selama di Jawa.

….

 

DESKRIPSI PROYEK

Proyek Perjalanan Besar dengan tajuk ‘Menelusuri Jejak Mataram’ ini merupakan kegiatan puncak dalam alur tema Jawaku Kehidupanku di jenjang kelas 8 (Kelompok Marlin) Rumah Belajar Semi Palar. Dalam proyek ini anak-anak diajak untuk mempersiapkan serta melakukan perjalanan ke wilayah Surakarta dan Yogyakarta untuk melakukan studi secara langsung yang berkaitan dengan topik besar yang sedang mereka pelajari, yaitu budaya dan warisan sejarah di Jawa.

 

KETERANGAN TEKNIS

Proyek ini berlangsung dari tanggal 10 hingga 14 Maret 2014. Dalam kegiatan eksplorasinya, anak-anak akan melakukan perjalanan secara mandiri dalam kelompok-kelompok kecil dengan dampingan kakak dalam batas tertentu. Kelompok kecil tersebut terdiri dari kelompok 1 dengan anggota: Jeremy, Angel, Calista, dan Mutia, Kelompok 2 dengan anggota: Gio, Faszya, dan Natasha, Kelompok 3 dengan anggota: Santi, Nisrina, dan Rico, dan Kelompok 4 dengan anggota: Evan, Kinan, Lian, dan Kevin. Kakak pembimbing dalam proyek ini adalah Kak Wienny, Kak Taufan, Kak Rizky, dan Kak Robert.

 

OBSERVASI TEMPAT-TEMPAT YANG DIKUNJUNGI

Kampung Batik Laweyan

Laweyan adalah tempat cikal bakal berdirinya kerajaan Mataram. Pembuka kampung Laweyan adalah Ki Ageng Henis, pejabat kerajaan Pajang yang kemudian melahirkan raja-raja Mataram. Era pusat pemerintahan di Laweyan berakhir ketika Panembahan Senapati (Sutawijaya) sebagai raja pertama Mataram memindahkan konsentrasi pemerintahan dari Laweyan ke daerah Kotagede.
Laweyan kemudian menjadi saksi sejarah kemahsyuran tempat produksi dan perdagangan Batik di masa Kasunanan Surakarta sekitar abad ke-18 Masehi. Dahulu tempat ini merefleksikan pertumbuhan pesat kelas menengah masyarakat yang status sosialnya mulai bergesekan dengan kelas feodal dalam sistem monarki di Surakarta, terlebih saat mereka mulai mengkonsolidasikan diri dengan membangun sebuah Sarekat Dagang yang kemudian dikenal sebagai Sarekat Islam (SI) yang berhaluan revolusioner. Satu alasan mengapa akhirnya gerakan anti monarki di sini lebih kuat daripada di Yogyakarta.

Keberadaan Laweyan saat ini dapat membantu kita untuk dapat menelusuri jejak Mataram, dengan mengunjungi sentra tempat produksi dan penjualan Batik, rumah-rumah kuno, makam Ki Ageng Henis & Ki Ageng Pemanahan sebagai pendiri desa Mataram, dan Mesjid Tua Laweyan yang didirikan sekitar tahun 1546 M.

Kotagede

Terletak di sebelah tenggara Kota Yogyakarta, terdapat wilayah Kotagede yang dahulu menjadi ibukota pertama Kerajaan Mataram Islam. #Kotagede #Mataram

Di Kotagede terdapat kompleks makam kerajaan awal Mataram, di antaranya makam Sutawijaya sebagai raja pertama Mataram #Kotagede #Mataram

Peninggalan alun-alun dan benteng dalam Kraton (disebut Cepuri) masih bisa kita lihat sekarang di wilayah kampung Kedhaton. #Kotagede #Mataram

Kotagede juga kaya dengan peninggalan rumah-rumah penduduk berarsitektur Jawa (Joglo-Limasan-Kampung) dan art deco Jawa-Eropa. #Kotagede #Mataram

Raja termahsyur Mataram, Sultan Agung, kemudian memindahkan ibukota dari Kotagede ke daerah Karta (Kab.Bantul) sekitar tahun 1618M. #Kotagede #Mataram

Daerah Kotagede kemudian berkembang menjadi sentra produksi dan perdagangan Kerajinan Perak yang terkenal hingga sekarang. #Kotagede #Mataram

(Rizky Satria, 2014 dalam:
https://twitter.com/search?q=%40sukasejarah%20%23Mataram&src=typd&f=realtime)

Kraton-Kraton Terakhir di Jawa

Dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti pada tahun 1755M, wilayah kerajaan Mataram yang sudah semakin kecil kembali terbagi ke dalam dua wilayah, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Setelah itu perpecahan belum usai setidaknya karena dua faktor utama: perebutan kekuasaan di antara kalangan kerajaan dan campur tangan kepentingan Belanda. Oleh karenanya wilayah eks Mataram terbagi kembali ke dalam Karesidenan Mangkunagaran dan Pakualaman.

Akhirnya terdapat empat Kraton dari empat pusat pemerintahan terakhir pasca perpecahan kerajaan Mataram Islam, diantaranya: Kraton Kasultanan Yogyakarta, Kraton Kasunanan Surakarta, Kraton Pakualaman, dan Kraton Mangkunagaran.

Tiga kraton yang disebutkan pertama menjadi bagian destinasi yang kami kunjungi dalam perjalanan besar ini. Kraton-kraton ini di samping dijadikan sebagai tempat simbol kekuasaan raja, juga telah digunakan sebagai tempat pusat kebudayaan masyarakat Jawa.

Bandung, 1 April 2014.