Tentang Sebuah Diskusi: Dari persoalan nalar kritis hingga perdebatan soal nasionalisme. (Bagian 2)

Tertib nalar dalam skema agitasi, antara rasionalitas dan prioritas “kepentingan” yang lain.

Dalam diskusi panjang bersama temanku di dini hari yang tak berujung itu, hal yang pertama kami soroti adalah tentang tertib nalar dalam pemaparan yang disampaikan oleh Mardigu. Menurutnya, Mardigu melupakan hal yang paling esensial dalam sebuah paparan pemikiran, yakni ketepatan data informasi dan kelogisan berpikir. Sebuah kesimpulan yang ditarik dari disinformasi tidak bisa diterima, apalagi agitasi. Seruan-seruannya nampak kosong. Hanya mengarah pada pseudo nasionalisme. Kurang lebih begitulah kritiknya. Sementara bagiku hal itu tidak begitu menjadi persoalan. Aku lebih fokus pada upaya yang hendak disampaikan oleh Mardigu: Mengisi kekosongan diskursus bela negara dan nasionalisme. Oleh karenanya, persepsiku terhadap Mardigu tetap positif, lain hal nya dengan temanku ini.

“Akhirnya nasionalisme hanya menjadi dagangan yang memiliki pasar yang potensial,” menurutnya. “Lalu jika dagangan memiliki asosiasi dengan keuntungan, apa keuntungannya ia (Mardigu) menjadikan nasionalisme sebagai dagangan?” Tanyaku dengan serius. Mungkin saja, menurutnya, keuntungannya adalah meraih popularitas. Waw, pikirku.:D

Ada penilaian yang berbeda. Penilaian inilah yang mengantarku pada diskusi yang cukup panjang.

Ternyata bagiku dalam skema kampanye, agitasi, propaganda atau apapun jenisnya seperti yang diungkapkan Mardigu, tertib nalar itu penting, tapi tidak lebih penting dari prioritas tujuan kampanye itu sendiri. Dalam hal ini tujuan tersebut adalah membangkitkan semangat bela negara dan nasionalisme. Jadi menurutku, disinformasi Mardigu tidak lebih penting dari ajakannya untuk membangkitkan kembali nasionalisme. Namun akhirnya aku sadar. Saat ini kondisi dunia (dan kualitas manusianya) sudah tidak lagi seperti masa pergerakan awal abad ke-20 di mana kampanye-kampanye bisa dilakukan secara masif tanpa memiliki landasan tertib nalar karena memang, jika dilihat, propaganda memiliki cara kerja yang seperti itu. Namun, ya kini aku sadar, mekanisme propaganda seperti itu sudah semakin tidak relevan karena kualitas kesadaran warga dunia sudah jauh lebih berkembang.

Namun, apakah ketika kampanye nasionalisme memiliki kelemahaman alur berpikir maka runtuhlah semua upaya positifnya seperti yang aku tangkap dari penyampaian temanku ini? Sebentar, positif itu nilai. Menurutku nasionalisme itu positif, lalu bagaimana menurut temanku? Apakah ia memiliki nilai yang sama?

Nasionalisme dan Jebakan Etatisme.

Saat kemudian membahas tentang nasionalisme, tentang kecintaan terhadap tanah air, temanku berpendapat jika hal tersebut juga dibentuk atas rasionalitas. Intinya nasionalisme juga harus memiliki landasan tertib nalar yang kuat. Ada timbal balik manfaat dengan hadirnya negara. Jika hari ini negara dirasa sudah tidak memberikan manfaat, maka jangan salahkan jika nasionalisme juga kemudian luntur. Begitu kurang lebih pendapatnya. Sementara menurutku pandangan dari teori lahirnya negara yang berasal dari budaya liberalisme Eropa seperti itu tidak cukup relevan digunakan di Indonesia. Asumsiku, kebanyakan masyarakat Indonesia belum mencapai tingkat perkembangan rasional seperti itu, lagi pula “kecintaan” terhadap tanah air tidak melulu soal rasionalitas.

Ya, nampaknya ada penggunaan konsep yang tumpang tindih antara negara dan tanah air. Aku kemudian menyampaikan jika negara, pemerintah, bangsa, dan tanah air seringkali dicampurandukkan ketika memahami soal nasionalisme. Menurutku kecintaan terhadap tanah air, terhadap bangsa, itu sama sekali berbeda dengan kecintaan terhadap negara. Negara adalah institusi politik, satu-satunya institusi di dunia yang diperbolehkan memiliki alat defensif seperti tentara, oleh karenanya ia seringkali bersifat destruktif. Sementara bangsa tidak. Sederhananya perbedaan ini begitu kentara ketika kita melihat eksistensi tokoh nasional seperti Amir Sjarifudin atau Tan Malaka. Mereka adalah pahlawan bangsa karena selain memiliki kecintaan terhadap Indonesia, mereka juga telah memberikan jasa yang cukup berarti. Namun, keduanya kemudian gugur dieksekusi mati oleh negara.  

Temanku tampak bersepakat dengan hal tersebut, namun ia tetap memandang jika nasionalisme adalah hal abstrak yang sering digunakan negara untuk memanipulasi banyak hal, termasuk memanipulasi indentitas nasional Indonesia yang sesungguhnya imajiner dan dipaksakan. Menurutku dalam satu sudut pandang, hal tersebut cukup rasional. Tapi aku lebih memilih untuk menggabungkan banyak sudut pandang lain dan menarik sebuah pemaknaan dari semuanya.

Indonesia: Antara konsep imajiner dan pengalaman otentik.

Perdebatan berlanjut saat ia bertanya tentang pendapatku soal Papua dan Timor Leste dalam landskap keindonesiaan. Bagiku Papua dan Timor Leste berbeda. Meski dua-duanya menyusul bergabung dengan Indonesia, namun di persitiwa penyatuannya (baca: perebutan wilayahnya) aku mengibaratkan jika Papua adalah seperti menjemput adik yang telah lama diambil oleh orangtua lain, sementara Timor Leste seperti menculik anak orang lain. Intinya menurutku, Papua memiliki ikatan persaudaraan yang lebih kuat dengan Indonesia sebagai sebuah bangsa, sementara lain halnya dengan Timor Leste.

Papua, dengan segala konflik yang terjadi saat ini tetap harus menjadi bagian dari Indonesia. Aku kemudian bercerita bahwa dulu aku pernah berpikir jika aku orang Papua mungkin aku akan lebih memilih untuk merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Namun persoalannya adalah, apakah memisahkan diri dan merdeka adalah solusi? Banyak negara-negara kaya tambang di dunia kemudian tidak bisa berkembang menjadi makmur karena terhjebak dalam sistem ekonomi dunia yang tidak adil. Karena sebenarnya persoalan kesenjanan di Papua saat ini bukan diakibatkan oleh kepentingan horizontal, kepentingan antar daerah, namun oleh kepentingan modal dalam skema struktur ekonomi kapitalisme dunia yang sedang diterapkan. Jadi menurutku, memisahkan diri dari Indonesia bukanlah solusi jika kita masih terhubung dengan sistem ekonomi yang sama.

Menurut temanku, pandangan tersebut nampak sebagai jebakan poskolonialisme.

Karena menangkap indikasi pandangan bahwa Indonesia sebagai entitas berhadapan dengan Papua sebagai entitas yang lain, sebagai satu pihak yang ”menjajah” pihak lain, dengan bersemangat aku menyampaikan jika persoalan Papua cukup kompleks, terkait dengan tambang, dengan keterlibatan amerika di balik sejarah operasi penyatuan wilayahnya dengan Indonesia, dengan banyak hal lain sebagainya. Namun aku salah, temanku, sesuai dengan ekspertasinya, hanya ingin melihat persoalan Papua dari konstruksi identitasnya, sebagaimana apa yang sedang kami bahas di awal, soal nasionalisme. Oleh karenanya penjelasan-penjelasanku selanjutnya jadi tampak “ngawur” dan keluar dari konteks pembicaraan.

Baik, aku salah. Lalu aku menyimpulkan jika pada intinya identitas Papua dalam landskap keIndonesiaan bukan identitas imajiner yang dipaksanakan, tapi identitas otentik yang terbentuk atas dasar pengalaman sejarah dan harapan bernegara yang sama. Oleh karenanya Indonesia dari Sabang sampai Merauke harus tetap bersatu, karena mereka satu bangsa, mereka memiliki pengalaman dan harapan yang sama.

Ya, kata temanku, namun sekali lagi ia menyampaikan jika bersatu maupun berpisah, tidak menjadi persoalan jika pada akhirnya harapan baik tetap bisa terwujud di Papua.

Karena sudah memakan waktu yang cukup lama dan menjelang siang anakku sudah terbangun lagi dan mengajakku bermain, diskusi kami akhirnya terhenti, menyisakan renungan yang panjang dalam diriku. Tentang kesadaran imajiner, tentang identitas yang dipaksakan, tentang nasionalisme, pandangan hidupku, yang tidak tertib nalar.

Bahwa benar secara nalar, secara rasionalitas, banyak kelemahan dalam konsep nasionalisme Indonesia. Tapi aku masih yakin atas apa yang aku percayai, karena menurutku nasionalisme bukan hanya soal rasio, nasionalisme juga melibatkan perasaan, melibatkan semacam penghayatan yang mendalam atas eksistensi dalam bernegara.

About rizkysatria

Penikmat kopi, prosa, dan puisi.

Tinggalkan komentar