Tentang Sebuah Diskusi: Dari persoalan nalar kritis hingga perdebatan soal nasionalisme. (Bagian 3)

Tentang Konstruksi Identitas dan Pemahaman Kunci Ekonomi Struktural.

Berbicara soal identitas nasional, sebenarnya aku pernah mempunyai pengalaman yang menarik dan bermakna. Dulu aku tak cukup bijak mempertimbangkan soal identitas nasional sebelum mengalami secara langsung hal ini.

Jadi, istriku dulu pernah mengajar di sebuah pulau yang cukup jauh dan terisolasi. Ironisnya, pulau kecil ini sebenarnya tepat berada di tengah-tengah wilayah Indonesia. Pulau Bawean namanya. Dulu ia bercerita jika di pulau Bawean ini, orang-orang lebih condong mengetahui, dan oleh karenanya lebih mencintai, Malaysia daripada Indonesia. Di sana, orang-orang banyak yang fasih berbicara bahasa Malaysia, alih-alih bahasa Indonesia. Banyak ringgit yang beredar, di samping rupiah, bahkan banyak yang memakai kaos Timnas sepakbola Malaysia, daripada Timnas Indonesia. Kenapa? Karena hampir seluruh penduduk di sana sedang atau pernah bekerja di Malaysia. Sebagai TKI, dari mulai pekerja bangunan, pengusaha sukses, hingga tokoh politik. Aku heran dan penasaran. tentunya hal ini menjadi fakta yang cukup menggelitik bagiku.

Hingga akhirnya aku menyetujui saran istriku untuk pergi berbulan madu ke sana. Sekalian aku berniat melakukan riset mandiri. Riset tentang kontruksi identitas keIndonesiaan di sana. Tidak main-main, sebelum berangkat aku beberapa kali melakukan konsultasi ke lembaga penelitian yang sering aku kunjungi sejak lama untuk mempersiapkan penelitian ini. Meskipun hasil riset ini tidak penah tertuliskan dengan baik menjadi sebuah makalah yang utuh, namun pengalaman tinggal bersama masyarakat di sebuah keluarga yang sudah menjadi orangtua angkat istriku di sana dan pengalaman berbincang banyak hal dengan target wawancara dari nelayan, petani, pedagang, hingga tokoh budaya di sana cukup memberiku banyak pelajaran berharga selama tinggal lebih dari satu minggu di tempat yang sangat berkesan itu.

Pada intinya pengalaman ini banyak memberikan pemahaman yang menarik tentang makna identitas keIndonesiaan bagi sebuah daerah yang unik seperti Bawean. Pada akhirnya tidak ada yang salah dengan identitas Malaysia yang jauh lebih terasa di sana dibandingkan Indonesia, karena secara historis ikatan kultural mereka sudah terbangun lama dengan wilayah malaya jauh sebelum konsep Indonesia dan Malaysia sebagai sebuah bangsa terbentuk di kemudian hari. Di samping kenyataan bahwa setelah kemerdekaan, negara sebagai institusi politik juga tidak banyak hadir di sana untuk memberikan timbal balik manfaat yang bermakna.

Namun Bawean tetaplah Bawean, meski lebih mengetahui Kuala Lumpur dibandingkan dengan Jakarta dan lebih senang menggunakan kaos Timnas Malaysia daripada Indonesia, mereka tetaplah bagian dari bangsa Indonesia. Bagian dari wilayah yang memiliki keterhubungan dalam lalu lintas perdagangan nusantara sebagai pulau persinggahan, bagian dari koloni Kerajaan Belanda (terdapat jejak peninggalan Belanda juga di sana), bagian dari daerah yang dideklarasikan masuk ke dalam wilayah Indonesia, bagian dari penutur ragam dialek bahasa Indonesia, bagian dari wilayah administratif yang ikut menjalani pembangunan nasional, bagian dari upaya mencapai cita-cita kemakmuran yang sama, dan bagian-bagian dari banyak hal lain yang kemudian secara lebih esensial tergabung dalam entitas bangsa Indonesia, yang memiliki makna lebih dalam dari sekadar menggunakan sebuah kaos sepakbola. (Terima kasih Pak Cuk, tokoh budaya di sana, yang juga telah mengonfirmasi kesimpulan ini).

Lalu, berbicara tentang rendahnya sikap bela negara dan nasionalisme dalam spektrum kepentingan nasional di tengah percaturan ekonomi politik dunia, seperti yang diutarakan Mardigu, dan juga tentang kesenjangan Papua yang kemudian seakan memecah dikotomi antara kepentingan Indonesia dan Papua, seperti yang diutarakan temanku, semuanya tidak bisa kita pahami secara utuh jika belum memahami kajian ekonomi struktural sebagai bagian dari tradisi kritis dalam ilmu ekonomi dunia.

Kajian ini akan menjawab pertayaan mendasar kenapa otoritas negara saat ini tidak cukup membela kepentingan negara dan kenapa Papua kemudian tereksploitasi secara masif yang melunturkan identitas kebangsaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Akan menjadi sangat panjang penjelasannya, namun intinya perkembangan corak ekonomi Indonesia dari masa kolonial hingga tumpuan dasarnya pada pembangunan gaya Orde Baru tidak cukup melahirkan kelas menengah yang kuat dalam skema perkembangan sistem kapitalisme dunia. Setidaknya dua buku sederhana dapat menjelaskan hal ini dengan baik, yaitu buku “Runtuhnya Teori Pembanguan dan Globalisasi” karya Mansour Fakih dan buku “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” karya Yoshinara Kunio. Sederhananya, akibat terlambatnya manuver Indonesia dalam mengikuti perkembangan industrialisasi dunia, Indonesia secara global kini harus puas menempati struktur terbawah dalam arus ekspansi kapital internasional. Kelas menengah Indonesia hanya berhenti menjadi pemain lapis dua dalam sistem perkenomian dunia, hanya menjadi kapitalisme rente, kalau menurut Yoshinara Kunio. Akhirnya, mereka tidak cukup kuat melobi kepentingan dalam geopolitik dunia, di mana sikap-sikap bela negara dari pemangku otoritas, seperti yang digemaskan oleh Mardigu, sebetulnya juga didorong oleh kepentingan bisnis terkait dengan ekspansi kapital dalam skema perkembangan ini. Jika Amerika hadir membawa kepentingan bisnis swasta, Tiongkok hadir membawa kepentingan bisnis negara. Itu kenapa kedua negara ini, yang sering menjadi objek pembahasan Mardigu, memiliki sikap “bela negara” yang lebih kuat dibandingkan Indonesia.

Tapi apakah kemudian lunturnya sikap bela negara pada pemangku otoritas ini bisa dibenarkan karena alasan ini? Tentu saja tidak. Sejalan dengan teori-teori ekonomi struktural, penghambat pembangunan tidak bisa semata dilihat karena satu faktor apakah intern atau ekstern saja, namun tarik ulur di antara keduanya. Menurutku, Malaysia di paruh akhir abad ke-20, di bawah kepemimpinan Mahathir, adalah contoh yang paling baik untuk menunjukkan sebuah upaya bela negara di tengah statusnya sebagai negara industri baru di Asia Tenggara di tengah skema perkembangan kapitalisme dunia. Karena “kesalahan” resep pembangunan Indonesia di era yang menentukan tersebut, di paruh awal abad ke-21 ini Indonesia kalah jauh dari Malaysia. Karena dorongan bisnis Indonesia tidak lebih baik dari Malaysia, maka kepentingan “bela negara” nya juga tidak lebih baik dari Malaysia dalam percaturan geopolitik dunia.

Lalu bagaimana ke depan? Menurutku kehadiran era baru industri 4.0 dengan segala platform digitalnya bisa menjadi era yang menentukan kembali untuk menemukan resep yang pas bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Semangat bela negara diperlukan untuk membangun kekuatan bisnis yang nantinya akan mendorong bargaining power kepentingan nasional di masa depan. Jadi bela negara mendorong pembangunan dan kepentingan bisnis, sementara kepentingan bisnis kemudian yang mendorong kekuatan bela negara itu sendiri. Saya kita hal ini yang perlu dipahami lebih jauh oleh Mardigu.

Pemahaman ini juga yang akan memberikan sudut pandang lain terhadap persoalan Papua saat ini, yang secara otomatis berpengaruh juga terhadap dinamika konstruksi identitas dalam konteks penyatuan entitas sebagai bangsa Indonesia. Sederhananya, di tengah kompleksitas hubungan Papua dengan daerah-daerah Indonesia lainnya, atau hubungan papua sebagai daerah dengan pemerintah pusat di Jakarta, ada satu hal yang penting bahwa segala dinamika tersebut juga dipengaruhi secara dominan oleh corak pembangunan ekonomi yang diterapkan sejak masa Orde Baru. Bagaimana eksploitasi tercipta karena korporasi dunia mengarah ke sana terkait persoalan tambang dan bagaimana proyek modernisasi dipaksakan tanpa mempertimbangkan identitas kultural di sana. Papua, Jawa, Sumatera, dan lainnya bersama-sama berhadapan dengan proyek pembangunan dan modernisasi yang amburadul atau menggunakan istilah yang sebelumnya, memiliki kesalahan resep dalam segenap programnya (Merujuk pada uraian Mansour Fakih dalam buku yang aku sebutkan tadi). Jadi jika kita menyelami lebih jauh kajian teori pembangunan ini, sesungguhnya Papua tidak sedang berhadapan dengan Jawa, pun berhadapan dengan pemerintah pusat yang di permukaan tampak tidak memiliki identitas kultural yang sama. Papua, sejatinya sedang berhadapan dengan sebuah sistem yang mana sedang dihadapi juga oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Saya percaya, Papua dan daerah-daerah lain di Indonesia harus tetap bersatu menghadapi segenap proyek pembangunan yang timpang dan membelenggu dalam konteks sistem ekonomi dunia. Oleh karenanya saya tidak sepakat jika jalan memisahkan diri harus diambil oleh saudara-saudara sebangsa di Papua, karena kita semua memiliki tugas sejarah yang harus sama-sama kita tuntaskan.

Wallahualam bishawab.

About rizkysatria

Penikmat kopi, prosa, dan puisi.

Tinggalkan komentar