Archive | Oktober 2018

Seri Pembahasan Manajemen Kelas | Unsur 3: Mendorong Interaksi yang Positif

Berbagi Cerita untuk Inspirasi Cerpen (2)Mendorong interaksi yang positif bisa diawali dengan menghidupkan sikap keterbukaan dan rasa empati. Saya biasa mengalokasikan waktu dengan anak-anak untuk berefleksi: Duduk melingkar (lesehan) membahas tentang hal apapun, memberikan kesempatan bicara secara merata, yang tujuannya membuat mereka lebih saling mengenal dan mendorong setiap orang agar bisa terbuka satu sama lain. Konflik atau perbedaan pendapat dari keseharian yang juga rutin direfleksikan kemudian dapat mengasah empati mereka secara umum.

Di samping itu, saya tidak pernah menggunakan intonasi dengan nada tinggi (beda ajeg/tegas dengan galak/marah), lebih sering memuji/mengapresiasi anak-anak jika menunjukkan perkembangan atau melakukan hal yang baik sesedikit apapun, selain juga sering menyimpan kepercayaan kepada mereka (tidak diawasi ketika ujian, belajar mandiri, dsb). Rasa apresiasi dan kepercayaan kemudian hidup di dalam kelas dalam keseharian.

Hal-hal positif dalam sebuah relasi seperti keterbukaan, empati, apresiasi, kepercayaan, dan sebagainya dapat hidup di kelas jika guru secara bijak mencoba menerapkan dan mendorongnya dalam interaksi di kelas sehari-hari.

Ki-Hajar-DewantaraSaat menghidupkan budaya relasi yang positif tersebut, akan lebih baik jika guru dapat fleksibel mengatur posisinya dengan murid-murid. Dalam hal ini kita perlu menerapkan ajaran klasik dari Ki Hadjar Dewantara, yakni “Di depan memberikan teladan, di samping memberikan semangat, dan di belakang memberikan dorongan”. Pengaturan posisi ini menjadi hal yang penting untuk tidak membuat posisi guru selalu berada “di atas” anak-anak dalam struktur kelas sehingga membuat semacam jarak dengan anak-anak. Ada saatnya guru memimpin dan memberikan arahan serta contoh, ada saatnya guru menjadi teman belajar yang mendampingi murid berproses, ada saatnya juga guru berada di belakang untuk memotivasi, memberikan mereka pilihan untuk bertanggung jawab menentukan tujuan dan cara belajarnya, dan akhirnya mendorong mereka untuk menjadi pembelajar yag mandiri (self regulated learner).

Guru yang baik juga selalu belajar memahami muridnya, termasuk memahami dunia mereka: Film, musik, humor, dan banyak hal yang sedang populer di lingkaran pergaulan mereka. Oleh karenanya, obrolan-obrolan informal di luar kelas menjadi tak kalah penting untuk dilakukan. Lihat misalnya dalam video berikut, bagaimana pengondisian di luar kelas berpengaruh secara langsung terhadap pengondisian di dalam kelas. Bagaimana sebetulnya strategi manajemen kelas tidak terbatas pada apa yang guru lakukan di dalam kelas saja.

 

kkc dp

Last but not least, strategi penting yang perlu dilakukan guru adalah menerapkan disiplin positif (Menekankan proses refleksi, menerapkan “konsekuensi bukan hukuman” serta “penguatan bukan ganjaran” sehingga pada akhirnya bisa menguatkan Loving Authority). Untuk mempelajari lebih jauh mengenai hal ini, silakan baca tulisan saya mengenai Disiplin Positif di media yang lain di sini.

Akhirnya, dengan berakhirnya pembahasan mengenai unsur ke tiga ini berarti berakhir juga seri rangkaian tulisan mengenai Manajemen Kelas di blog ini. Setelah memahami, mengeksplorasi, dan mempraktikkannya, teman-teman bisa mengontak saya untuk mendiskusikannya lebih lanjut. Selamat mengajar dengan efektif. 🙂

Seri Pembahasan Manajemen Kelas | Unsur 2: Membangun Iklim yang Kondusif

Membangun Iklim yang Kondusif berkaitan dengan pengaturan sistem yang dilakukan oleh guru agar kegiatan belajar dapat berjalan dengan teratur dan efektif. Untuk mendukung hal ini, ada beberapa hal yang bisa kita terapkan, di antaranya adalah: Kesepakatan Kelas, Transisi dan Ritme, Prosedur dan Rutin, serta Pengaturan Kelompok.

Kesepakatan Kelas

Setiap murid pasti merasa tidak asing dengan istilah “Peraturan”. Lalu, coba tanyakan bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap peraturan: Pasti kebanyakan akan menjawab jika peraturan adalah sesuatu yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Semua sepakat dengan hal itu. Namun, apakah kemudian mereka benar-benar melakukannya? Rupanya, bagi sebagian murid, menyepakati peraturan tidak selamanya menjadi hal yang mudah. Penyebabnya? Pertama, mereka tidak memahami dengan pasti siapa yang membuat peraturan tersebut dan mengapa sebuah peraturan mesti dibuat. Kedua, bagi sebagin anak, “melanggar” adalah sesuatu yang mengasyikkan. 😐

IMG_2460

Diskusi Kesepakatan Kelas

Berangkat dari kondisi tersebut, akan lebih baik jika kita mengganti “peraturan” dengan “kesepakatan”. Pada dasarnya keduanya sama saja. Iya, tapi “rasa”nya berbeda. Jika peraturan dibuat entah oleh siapa, kesepakatan dibuat langsung oleh mereka yang akan menjalankannya. Lalu, jika peraturan lebih bersifat teknis, maka kesepakatan lebih bersifat reflektif. Dampak baiknya, melanggar kesepakatan bukan lagi menjadi sesuatu yang mengasyikkan bagi siapapun.

Kesepakatan kelas dibuat di awal tahun pembelajaran. Setiap butir kesepakatan harus muncul dari anak-anak dan disepakati oleh forum kelas. Guru hanya berperan sebagai pengarah diskusi/moderator. Contoh kesepakatan kelas:

  • Mendengarkan dengan baik setiap orang yang sedang berbicara di depan kelas.
  • Mengangkat tangan jika ingin bertanya atau berpendapat.
  • Berusaha tidak berisik di dalam kelas.
  • Saling membantu saat bekerja kelompok.
  • dsb

Transisi dan Ritme

Jangan lupa untuk selalu mempertimbangkan soal transisi dan ritme. Transisi berkaitan dengan waktu jeda dari satu kegiatan ke kegiatan lain, sedangkan ritme berkaitan dengan pemilihan bentuk aktivitas yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak.

Waktu transisi dimulai dari peralihan “mode rumah” ke “mode sekolah” di pagi hari jam pertama sekolah, dari satu pelajaran ke pelajaran lain, hingga dari waktu istirahat ke jam pelajaran selanjutnya. Contoh kegiatan transisi misalnya dengan berbincang santai untuk menyambungkan/menjembatani topik sebelumnya dengan topik yang akan dipelajari, memberikan waktu jeda/istirahat singkat, melakukan ice breaking, dsb. Waktu transisi ini penting untuk memastikan kesiapan belajar murid sebelum memulai kegiatan yang akan dilakukan. Tidak jarang, anak-anak tidak fokus atau ribut di kelas disebabkan oleh pikirannya yang belum “tune in” karena masih sibuk memikirkan suatu hal dari kegiatan yang sebelumnya.

IMG_3250

Menonton di siang hari setelah jam olahraga dapat menjadi pilihan untuk menyesuaikan ritme belajar anak yang membutuhkan bentuk aktivitas ringan.

Guru juga mesti pandai membaca situasi. Ketika mengisi kelas di siang hari sedangkan di kegiatan sebelumnya anak-anak sudah lelah mengikuti jam olahraga, tentu kita tidak bisa memaksakan kegiatan yang membutuhkan aktifitas fisik atau konsentrasi tinggi. Sebaliknya, ketika seharian anak-anak belajar di dalam kelas saja, ada baiknya kita memvariasikan kegiatan dengan mengajak mereka untuk beraktifitas atau belajar di luar kelas. Dalam hal lain, tentu ada baiknya misalnya dengan mengatur ritme yang pelan di awal semester tahun ajaran dan semakin cepat di tengah atau akhir semester daripada sebaliknya.

Lebih jauh bahasan tentang ritme ada dalam tulisan praktik baik dari Bu Karuningtyas dan Pak Iden di Surat Kabar Guru Belajar Edisi 12. Tulisannya bisa diakses di sini.

Prosedur dan Rutin

Prosedur adalah tata cara melakukan sesuatu, yang jika dilakukan secara terus-menerus diharapkan dapat membangun kebiasaan yang positif bagi anak-anak. Cara mudah memahami prosedur (dan ini bisa juga menjadi bahan penjelasan kepada murid) adalah dengan mengambil contoh prosedur mematikan komputer desktop di Labkom sekolah, yakni: Mengarahkan kursor ke pilihan “File” atau lambang “Windows” yang ada di Taskbar, cari lalu klik pilihan “Power”, klik “Shut down”, tunggu beberapa saat sampai komputer mati, kemudian tekan kenop “Off” yang ada di terminal untuk memutus sambungan listrik. Sementara prosedur membutuhkan langkah-langkah yang sesuai, tindakan yang tidak sesuai prosedur biasanya mengambil jalan pintas dengan seenaknya, misalnya mematikan komputer dengan cara mencabut sambungan listriknya secara tiba-tiba. Pada akhirnya, tindakan yang tidak sesuai prosedur akan mengakibatkan kerugian: Mesin komputer rusak.

Nah, sekarang coba terapkan logika tersebut untuk keseharian kita di kelas. Seseorang yang ingin bertanya atau berpendapat saat guru sedang menjelaskan harus mengangkat tangan dan mendapat kode dipersilakan oleh guru. Jika prosedur ini tidak dilaksanakan maka kelas akan menjadi ribut tidak karuan. Jika ingin ke toilet atau ke luar kelas harus meminta izin terlebih dahulu kepada guru, jika tidak guru tidak akan mengetahui jika terjadi sesuatu dengan murid tersebut. Jika menggunakan alat-alat kelas harus meminta izin dan menyimpannya kembali ke tempatnya, jika tidak nanti alat tersebut akan sulit ditemukan di kemudian hari, dsb.

Contoh lain adalah prosedur di pagi hari: Simpan tas di loker, siapkan alat tulis dan buku, isi daftar presensi (absen), duduk siap sebelum jam masuk dimulai. Dampak jika tidak dilakukan: Kelas tidak akan bisa dimulai dengan baik.

Bayangkan jika prosedur-prosedur tersebut dilakukan secara rutin, kelas kita akan dapat mengatur dirinya sendiri bukan?

Pengaturan Kelompok (Pengelompokkan)

Seringkali kelas menjadi tidak kondusif karena ada sekelompok anak yang tidak mengetahui dengan baik apa yang harus mereka lakukan karena kesulitan mengambil peran atau sebaliknya sudah selesai mengerjakan semua tugasnya, sementara sekelompok yang lain masih sibuk berkegiatan. Oleh karenanya poin selanjutnya untuk membangun iklim belajar yang kondusif adalah ketepatan guru dalam hal pengelompokkan kelas.

Sebelum mengelompokkan anak-anak, kita mesti mengetahui terlebih dahulu profil setiap anak kemudian menyesuaikannya dengan bentuk atau tujuan belajar yang diharapkan.

IMG_3382

Bekerja sama dalam kelompok

Biasanya terdapat perdebatan apakah lebih baik mengelompokkan anak dengan kemampuan yang homogen atau heterogen. Sebetulnya perdebatan tersebut tidaklah tepat karena model homogen dan heterogen mempunyai fungsinya masing-masing sesuai dengan konteksnya. Kita bisa mengatur model homogen jika ingin memberikan fokus dampingan pada anak-anak yang masih kesulitan sementara membiarkan secara mandiri anak-anak yang sudah lebih mampu. Di lain waktu kita bisa menerapkan kelompok yang heterogen jika ingin anak-anak saling membantu sementara kita memberikan dampingan secara merata ke setiap kelompok.

Pengaturan kelompok juga berkaitan dengan setingan meja. Akan sangat tidak efektif jika kita mengelompokkan anak-anak secara dinamis namun tidak merubah setingan meja sama sekali.

Kesimpulannya, membangun iklim belajar yang kondusif di kelas bisa dilakukan dengan membangun sistem pengaturan yang baik. Selanjutnya, sistem pengaturan yang sesungguhnya bersifat teknis akan mendorong iklim belajar yang bermakna jika dilakukan secafa kontinyu dan reflektif. Oleh karenanya, di sini kita membutuhkan komponen manajemen kelas yang ke tiga: Mendorong interaksi yang positif di dalam kelas.