Seri Pembahasan Manajemen Kelas | Unsur 2: Membangun Iklim yang Kondusif

Membangun Iklim yang Kondusif berkaitan dengan pengaturan sistem yang dilakukan oleh guru agar kegiatan belajar dapat berjalan dengan teratur dan efektif. Untuk mendukung hal ini, ada beberapa hal yang bisa kita terapkan, di antaranya adalah: Kesepakatan Kelas, Transisi dan Ritme, Prosedur dan Rutin, serta Pengaturan Kelompok.

Kesepakatan Kelas

Setiap murid pasti merasa tidak asing dengan istilah “Peraturan”. Lalu, coba tanyakan bagaimana seharusnya mereka bersikap terhadap peraturan: Pasti kebanyakan akan menjawab jika peraturan adalah sesuatu yang harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Semua sepakat dengan hal itu. Namun, apakah kemudian mereka benar-benar melakukannya? Rupanya, bagi sebagian murid, menyepakati peraturan tidak selamanya menjadi hal yang mudah. Penyebabnya? Pertama, mereka tidak memahami dengan pasti siapa yang membuat peraturan tersebut dan mengapa sebuah peraturan mesti dibuat. Kedua, bagi sebagin anak, “melanggar” adalah sesuatu yang mengasyikkan. 😐

IMG_2460

Diskusi Kesepakatan Kelas

Berangkat dari kondisi tersebut, akan lebih baik jika kita mengganti “peraturan” dengan “kesepakatan”. Pada dasarnya keduanya sama saja. Iya, tapi “rasa”nya berbeda. Jika peraturan dibuat entah oleh siapa, kesepakatan dibuat langsung oleh mereka yang akan menjalankannya. Lalu, jika peraturan lebih bersifat teknis, maka kesepakatan lebih bersifat reflektif. Dampak baiknya, melanggar kesepakatan bukan lagi menjadi sesuatu yang mengasyikkan bagi siapapun.

Kesepakatan kelas dibuat di awal tahun pembelajaran. Setiap butir kesepakatan harus muncul dari anak-anak dan disepakati oleh forum kelas. Guru hanya berperan sebagai pengarah diskusi/moderator. Contoh kesepakatan kelas:

  • Mendengarkan dengan baik setiap orang yang sedang berbicara di depan kelas.
  • Mengangkat tangan jika ingin bertanya atau berpendapat.
  • Berusaha tidak berisik di dalam kelas.
  • Saling membantu saat bekerja kelompok.
  • dsb

Transisi dan Ritme

Jangan lupa untuk selalu mempertimbangkan soal transisi dan ritme. Transisi berkaitan dengan waktu jeda dari satu kegiatan ke kegiatan lain, sedangkan ritme berkaitan dengan pemilihan bentuk aktivitas yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak.

Waktu transisi dimulai dari peralihan “mode rumah” ke “mode sekolah” di pagi hari jam pertama sekolah, dari satu pelajaran ke pelajaran lain, hingga dari waktu istirahat ke jam pelajaran selanjutnya. Contoh kegiatan transisi misalnya dengan berbincang santai untuk menyambungkan/menjembatani topik sebelumnya dengan topik yang akan dipelajari, memberikan waktu jeda/istirahat singkat, melakukan ice breaking, dsb. Waktu transisi ini penting untuk memastikan kesiapan belajar murid sebelum memulai kegiatan yang akan dilakukan. Tidak jarang, anak-anak tidak fokus atau ribut di kelas disebabkan oleh pikirannya yang belum “tune in” karena masih sibuk memikirkan suatu hal dari kegiatan yang sebelumnya.

IMG_3250

Menonton di siang hari setelah jam olahraga dapat menjadi pilihan untuk menyesuaikan ritme belajar anak yang membutuhkan bentuk aktivitas ringan.

Guru juga mesti pandai membaca situasi. Ketika mengisi kelas di siang hari sedangkan di kegiatan sebelumnya anak-anak sudah lelah mengikuti jam olahraga, tentu kita tidak bisa memaksakan kegiatan yang membutuhkan aktifitas fisik atau konsentrasi tinggi. Sebaliknya, ketika seharian anak-anak belajar di dalam kelas saja, ada baiknya kita memvariasikan kegiatan dengan mengajak mereka untuk beraktifitas atau belajar di luar kelas. Dalam hal lain, tentu ada baiknya misalnya dengan mengatur ritme yang pelan di awal semester tahun ajaran dan semakin cepat di tengah atau akhir semester daripada sebaliknya.

Lebih jauh bahasan tentang ritme ada dalam tulisan praktik baik dari Bu Karuningtyas dan Pak Iden di Surat Kabar Guru Belajar Edisi 12. Tulisannya bisa diakses di sini.

Prosedur dan Rutin

Prosedur adalah tata cara melakukan sesuatu, yang jika dilakukan secara terus-menerus diharapkan dapat membangun kebiasaan yang positif bagi anak-anak. Cara mudah memahami prosedur (dan ini bisa juga menjadi bahan penjelasan kepada murid) adalah dengan mengambil contoh prosedur mematikan komputer desktop di Labkom sekolah, yakni: Mengarahkan kursor ke pilihan “File” atau lambang “Windows” yang ada di Taskbar, cari lalu klik pilihan “Power”, klik “Shut down”, tunggu beberapa saat sampai komputer mati, kemudian tekan kenop “Off” yang ada di terminal untuk memutus sambungan listrik. Sementara prosedur membutuhkan langkah-langkah yang sesuai, tindakan yang tidak sesuai prosedur biasanya mengambil jalan pintas dengan seenaknya, misalnya mematikan komputer dengan cara mencabut sambungan listriknya secara tiba-tiba. Pada akhirnya, tindakan yang tidak sesuai prosedur akan mengakibatkan kerugian: Mesin komputer rusak.

Nah, sekarang coba terapkan logika tersebut untuk keseharian kita di kelas. Seseorang yang ingin bertanya atau berpendapat saat guru sedang menjelaskan harus mengangkat tangan dan mendapat kode dipersilakan oleh guru. Jika prosedur ini tidak dilaksanakan maka kelas akan menjadi ribut tidak karuan. Jika ingin ke toilet atau ke luar kelas harus meminta izin terlebih dahulu kepada guru, jika tidak guru tidak akan mengetahui jika terjadi sesuatu dengan murid tersebut. Jika menggunakan alat-alat kelas harus meminta izin dan menyimpannya kembali ke tempatnya, jika tidak nanti alat tersebut akan sulit ditemukan di kemudian hari, dsb.

Contoh lain adalah prosedur di pagi hari: Simpan tas di loker, siapkan alat tulis dan buku, isi daftar presensi (absen), duduk siap sebelum jam masuk dimulai. Dampak jika tidak dilakukan: Kelas tidak akan bisa dimulai dengan baik.

Bayangkan jika prosedur-prosedur tersebut dilakukan secara rutin, kelas kita akan dapat mengatur dirinya sendiri bukan?

Pengaturan Kelompok (Pengelompokkan)

Seringkali kelas menjadi tidak kondusif karena ada sekelompok anak yang tidak mengetahui dengan baik apa yang harus mereka lakukan karena kesulitan mengambil peran atau sebaliknya sudah selesai mengerjakan semua tugasnya, sementara sekelompok yang lain masih sibuk berkegiatan. Oleh karenanya poin selanjutnya untuk membangun iklim belajar yang kondusif adalah ketepatan guru dalam hal pengelompokkan kelas.

Sebelum mengelompokkan anak-anak, kita mesti mengetahui terlebih dahulu profil setiap anak kemudian menyesuaikannya dengan bentuk atau tujuan belajar yang diharapkan.

IMG_3382

Bekerja sama dalam kelompok

Biasanya terdapat perdebatan apakah lebih baik mengelompokkan anak dengan kemampuan yang homogen atau heterogen. Sebetulnya perdebatan tersebut tidaklah tepat karena model homogen dan heterogen mempunyai fungsinya masing-masing sesuai dengan konteksnya. Kita bisa mengatur model homogen jika ingin memberikan fokus dampingan pada anak-anak yang masih kesulitan sementara membiarkan secara mandiri anak-anak yang sudah lebih mampu. Di lain waktu kita bisa menerapkan kelompok yang heterogen jika ingin anak-anak saling membantu sementara kita memberikan dampingan secara merata ke setiap kelompok.

Pengaturan kelompok juga berkaitan dengan setingan meja. Akan sangat tidak efektif jika kita mengelompokkan anak-anak secara dinamis namun tidak merubah setingan meja sama sekali.

Kesimpulannya, membangun iklim belajar yang kondusif di kelas bisa dilakukan dengan membangun sistem pengaturan yang baik. Selanjutnya, sistem pengaturan yang sesungguhnya bersifat teknis akan mendorong iklim belajar yang bermakna jika dilakukan secafa kontinyu dan reflektif. Oleh karenanya, di sini kita membutuhkan komponen manajemen kelas yang ke tiga: Mendorong interaksi yang positif di dalam kelas.

Tag:

About rizkysatria

Penikmat kopi, prosa, dan puisi.

Trackbacks / Pingbacks

  1. Seri Pembahasan Manajemen Kelas | Pengantar | Journey_of_Mind - 12 Oktober 2018

Tinggalkan komentar