Arsip | an idea that comes from the story RSS for this section

CO-CREATE Movement to Deal with the Tolerance Issue in Our Society

“Intolerance caused by prejudice,

prejudice caused by misunderstanding,

and misunderstanding caused by less know each other.”

I formulated the statement from my experience living with a homogeneous people during my growing up as a member of society. Long ago, I used to think that certain ethnic were stingy or certain religions were arrogant, simply because I have never connected to them. After I have a lot of friends from different ethnicities and religions, my views changed. The more I get to know people from different backgrounds, the more I understand that we are often trapped in a false assumption of prejudice.

According to my experience, learning about diversity is important in our diverse society, especially when the differences feel increasingly sharp when it comes to political interests. Without a proper response, diversity can become a ticking time bomb that will explode into conflict at any time. However, in this case, I believe that education, as a cultural-reproduction institution, has an important role to make people realize that the difference must be accepted as a valuable asset, instead of being a source of trouble.

Through proper learning strategies about diversity, people or students will not only know the different cultures around them, but also reflect on it as something that must be kept in harmony. But, unfortunately, most people learn about the diversity in a limited way only in terms of getting more information about the differences, not processing it to gain a meaningful understanding that could change someone’s perspective, or even someone’s paradigm towards diversity.

Reflecting on my experience as a teacher and also a member of society, I would like to share the idea for the solution. The basic argument is to expand our learning experience by taking action to directly interact with others so we can foster mutual respect. That’s what I called CO-CREATE (Connect, communicate, and appreciate).

  • The first step is to connect. The issue of tolerance, at first emerged from prejudice. When people only know that cultural diversity exists, but they have never been connected to each other. So the most important thing is to expand connections with people from different backgrounds in various ways.
  • The second is to communicate. After people or students from diverse cultures meet on occasion, they have to do the interaction, to share their experiences and perspective about people. So the goal is to put our perspective to the other.
  • The third is to appreciate. After connecting and communicating well, after people or student has diverse perspective, it’s easy to then build respect for each other. Because basically every human being is nice and naturally feels comfortable living in a peaceful relationship.

This strategy can be applied at all levels of education, even for the public through non-formal educational institutions. In principle, educators need to optimize their assets to encourage students or the community to interact from the smallest circle (classroom/family) to the largest circle (world community). Hope, by getting to know each other, people in a diverse society can reduce misunderstanding, eliminate prejudice, and finally become more tolerant for each other. 

Salam,

M. Rizky Satria

Tentang Pengalaman, Harapan, dan Optimisme untuk Mendorong Perubahan Pendidikan ke Arah yang Lebih Baik: Sebuah Esai

Nama saya Rizky Satria. Saya lahir dan besar di wilayah pemukiman padat di Kota Bandung di mana penduduknya tinggal dengan sangat sederhana. Sederhana dalam menjalani keseharian, memaknai kehidupan, termasuk dalam menilai arti penting pendidikan. Ya, sebagian besar teman saya hanya lulusan SMP karena putus sekolah di SMA, baik karena tidak ada biaya atau karena pernah melakukan pelanggaran sehingga dikeluarkan oleh pihak sekolah. Hanya sebagian kecil yang lulus SMA dan beberapa orang saja yang berkuliah.

Alhamdulillah, meski juga hidup sederhana, tapi orangtua saya punya pemikiran yang berbeda dengan penduduk lainnya. Mereka mendorong saya untuk bisa bersekolah di tempat yang baik dan mengupayakan saya agar bisa berkuliah. Oleh karenanya, sejak usia sekolah saya menginjakkan kaki di dua lingkungan yang berbeda: Satu kaki di lingkungan pertemanan rumah yang tergolong prasejahtera dan kurang terdidik, sementara satu kaki yang lainnya di lingkungan pertemanan sekolah yang cenderung lebih sejahtera dan terdidik. Kondisi ini terus berlangsung hingga saya berkuliah di perguruan tinggi. Menjadikan saya pribadi yang lebih peka terhadap kondisi sosial, terutama terkait isu kesenjangan dan pendidikan.

Uniknya, di masa SMA saya menyadari sesuatu hal, bahwa teman-teman saya di rumah yang tidak bersekolah ternyata tidak kalah pintar dengan teman-teman yang ada di sekolah. Mereka sama-sama cerdas, bahkan tidak jarang teman di rumah saya lebih pandai. Ternyata alasannya sederhana, di sekolah kami belajar dengan cara menghafal pelajaran, sementara di rumah kami belajar dengan cara bermain dan berpraktik. Contohnya saat bermain game Play Station, kami terbiasa mengasah kemampuan berkolaborasi, mengatasi tantangan, dan memecahkan persoalan. Begitu juga saat menjadi panitia acara Agustusan, kami mengasah kemampuan berkomunikasi dan berkreasi. Ya, teman-teman di sekolah hanya lebih pintar wawasannya, tapi tidak dengan keterampilannya. Sayangnya, kondisi ini merugikan kedua pihak. Teman-teman di rumah, karena tidak memiliki ijazah dan modal, pada akhirnya hanya bisa bekerja menjadi pramusaji atau petugas kebersihan saja, kalau tidak menjadi tukang parkir di pertokoan di depan jalan. Sementara teman sekolah yang memiliki ijazah juga sulit berkembang karena minimnya keterampilan setelah lulus sekolah.

Berangkat dari pengalaman itu maka sejak di bangku SMA saya bercita-cita menjadi guru. Lebih tepatnya menjadi guru yang tidak biasa-biasa saja. Saya ingin membuat perubahan. Saat itu, saya menyebutnya dengan “merubah sistem pendidikan”.

Saya kemudian berkuliah di kampus keguruan dan menyadari bahwa persoalan pendidikan tidak sesederhana yang saya bayangkan sebelumnya, apalagi untuk merubah sistem. Banyak persoalan yang saling terkait dan memiliki kompleksitasnya sendiri, di antaranya soal pemerataan akses, kualitas pembelajaran, kesejahteraan guru, kepemimpinan sekolah, implementasi kebijakan, kemampuan literasi guru, dan lain sebagainya. Namun demikian saya tetap optimis jika persoalan-persoalan tersebut pasti dapat diatasi, sesederhana dengan cara meningkatkan kreativitas guru untuk mengajarkan keterampilan hidup yang bermanfaat kepada muridnya. Karena bukankah, ujung tombak implementasi dari seluruh persoalan pendidikan yang kompleks itu ada di tangan guru?

Oleh karenanya, sejak akhirnya tercapai keinginan untuk berkarya menjadi guru, saya aktif di berbagai forum dan komunitas pendidikan untuk mengasah kompetensi diri dan membagikan kemampuan yang saya miliki. Aktivitas tersebut kemudian mengantar saya tergabung bersama Komunitas Guru Belajar Nusantara. Komunitas tempat berbagi praktik baik pengajaran yang berada di setiap daerah dan terhubung melalui kanal-kanal internet. Kami rutin mengadakan kelas-kelas belajar untuk mendiskusikan strategi mengajar kreatif dan inovatif. Di komunitas ini juga saya kemudian dipercaya mengelola buletin kumpulan praktik baik pengajaran yang bernama Surat Kabar Guru Belajar. Saya bersama tim mengadakan kelas menulis dan mengurasi tulisan-tulisan guru hingga beberapa tahun lamanya. Selama proses tersebut, sudah ratusan tulisan praktik mengajar guru dari berbagai jenjang dan daerah yang saya baca dan menjadi referensi berharga yang tidak terkira bagi diri saya sendiri.

Selain memperkaya diri untuk meningkatkan kompetensi, saya juga rutin mengisi sesi berbagi strategi pengajaran secara sukarela, mulai dari lingkup sekolah, regional, daerah, hingga nasional. Atas konsistensi saya, kesempatan untuk mengembangkan diri lebih jauh muncul ketika saya mulai menerima tawaran untuk mengisi berbagai sesi pelatihan guru secara profesional, menulis modul pelatihan, dan menyusun buku. Fokus perhatian saya adalah peningkatan kualitas pengajaran, pemberdayaan literasi guru, dan pengembangan karier guru. Saya aktif di Komunitas Guru Belajar Nusantara sejak tahun 2017 dan kemudian menjadi pengurus nasional sejak tahun 2019 hingga saat ini.

Pada tahun 2019, saya juga mulai terlibat di kementerian pendidikan saat Pusat Asesmen dan Pembelajaran mengundang dan menyaring guru-guru dari banyak sekolah untuk merancang prototipe soal Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Alhamdulillah, saya termasuk guru yang terus dilibatkan untuk menulis dan menelaah soal-soal asesmen di bidang literasi sehingga sudah ratusan soal asesmen nasional yang saya tulis dan telaah. Di saat yang sama, karena aktivitas saya di forum-forum pengajaran, saya juga berkesempatan menjadi reviewer tunggal untuk perancangan dokumen Capaian Pembelajaran IPS SMP dalam program pengembangan kurikulum di kementerian.

Pada tahun 2020, pengalaman di bidang pengembangan literasi guru membuat saya berkesempatan juga untuk menjadi bagian dari tim penulis buku ajar IPS SMP. Di saat yang sama, aktivitas saya di forum pendidikan juga mengantar saya menjadi instruktur di program Pendidikan Guru Penggerak. Sebuah program yang diinisasi oleh pemerintah untuk melahirkan banyak guru penggerak perubahan yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia.

Pada tahun 2021, kontribusi saya di kementerian pendidikan semakin berkembang dengan menjadi tim koordinator dan kurator perancangan modul ajar di pengembangan kurikulum prototipe serta menjadi narasumber dan penulis modul pelatihan di program Sekolah Penggerak. Memiliki visi yang sama dengan program Guru Penggerak, program Sekolah Penggerak diharapkan dapat melahirkan sekolah-sekolah yang mampu menjadi katalisator perubahan paradigma pendidikan yang lebih inovatif dan berpihak kepada murid di seluruh Indonesia.

Jika direfleksikan, hal yang membuat saya sampai ke titik ini adalah harapan-harapan dan visi perubahan yang saya miliki sejak lama. Saya memimpikan perubahan dunia pendidikan menjadi lebih inovatif dan berpihak pada murid sehingga setiap murid dapat menuntaskan sekolahnya dan memiliki keterampilan yang diperlukan. Tentunya saya percaya jika perubahan tersebut harus dimulai dari guru, alih-alih mengunggu perubahan kebijakan dari pemerintah. Namun kemudian, bisa dibayangkan betapa bahagianya ketika dalam beberapa tahun terakhir pemerintah juga melakukan transformasi pendidikan dengan memperbarui kurikulum menjadi Kurikulum Merdeka. Kurikulum dengan paradigma baru yang lebih memberdayakan murid, guru, dan sekolah untuk mengembangkan sistem pembelajaran yang lebih kontekstual dan bermakna.

Frekuensi perubahan yang saya dan pemerintah miliki kemudian mempertemukan kami di beragam program inovasi kementerian. Sehingga dalam beberapa tahun terakhir saya berhasil menjadi penulis, penelaah, instruktur, narasumber, dan kurator dalam rangka pengembangan kurikulum dan peningkatan kualitas pembelajaran. Saya bangga menjadi bagian dari transformasi pendidikan yang sedang berlangsung di Indonesia.

Pada tahun 2022, di tengah aktivitas saya bersama komunitas guru dan program-program yang diinisiasi oleh kementerian, saya melihat bahwa sudah banyak fokus yang ditujukan untuk memperkaya strategi mengajar guru, namun masih sedikit yang memberikan perhatian kepada bagaimana seluruh proses mengajar tersebut dapat dievaluasi untuk memastikan bahwa “guru tidak hanya mengajar, tapi juga membelajarkan murid.” Oleh karenanya, selain memiliki kemampuan mengembangkan pembelajaran, guru juga perlu memiliki kemampuan mengembangkan asesmen yang efektif.

Kementerian pendidikan sudah mengidentifikasi kebutuhan ini, oleh karenanya di dalam pengembangan Kurikulum Merdeka, pemerintah menegaskan adanya paradigma baru evaluasi yang tertuang dalam dokumen Prinsip Pembelajaran dan Asesmen. Pada intinya, evaluasi pembelajaran tidak lagi dimaknai sebagai proses yang terpisah dengan proses pembelajaran seperti yang biasanya terjadi dalam pelaksanaan ulangan harian, tes akhir bab, ujian tengah semester, atau ujian akhir semester. Sebaliknya, evaluasi dalam bentuk asesmen harus dapat terintegrasi dengan proses pembelajaran. Dihadirkan di awal sebagai diagnostik untuk memetakan kemampuan belajar, di tengah sebagai formatif untuk membantu murid mencapai tujuan pembelajaran, dan di akhir sebagai sumatif untuk mengevaluasi pencapaian dan keseluruhan proses pembelajaran yang telah dilakukan. Implikasi dari perubahan paradigma dan skema ini, juga didorong oleh penghapusan Ujian Nasional, kemudian melahirkan kebutuhan referensi mengenai asesmen yang luas dan beragam untuk pada guru. Namun sayangnya referensi tersebut belum banyak tersaji di Indonesia.

Kebutuhan mengembangkan asesmen pembelajaran semakin tinggi dengan adanya skema kegiatan projek penguatan Profil Pelajar Pancasila di seluruh jenjang satuan pendidikan pada implementasi Kurikulum Merdeka. Projek penguatan Profil Pelajar Pancasila adalah kegiatan pembelajaran berbasis proyek untuk menguatkan kompetensi Profil Pelajar Pancasila yang memiliki alokasi waktu 20-30% dari seluruh total jam pelajaran yang dimiliki oleh setiap kelas di setiap tahun. Di dalam kegiatan ini, murid diarahkan untuk dapat berkolaborasi memecahkan persoalan di masyarakat secara eksploratif sehingga mereka dapat mengembangkan beragam kompetensi yang terdapat di dalam rumusan Profil Pelajar Pancasila. Oleh karenanya, diperlukan sebuah pengembangan asesmen yang lebih otentik dan kontekstual, berbasis kinerja, dan mampu memberdayakan murid.

Saya, bersama beberapa rekan praktisi, adalah pengembang dokumen Panduan Pengembangan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila yang diterbitkan oleh pemerintah sebagai acuan pengembangan kegiatannya di satuan pendidikan. Versi pertama dokumen tersebut sudah dirilis di tahun 2021 untuk digunakan di Sekolah Penggerak angkatan pertama yang menerapkan kurikulum prototipe atau Kurikulum Merdeka. Sementara versi berikutnya dari dokumen tersebut sedang dan akan terus diolah untuk dikembangkan seiring dengan pembaruan kurikulum di Indonesia.

Berangkat dari situasi tersebut, saya menemukan kebutuhan untuk dapat melanjutkan studi terutama untuk mendalami kemampuan di bidang pengembangan evaluasi pembelajaran.

Oleh karenanya di tahun 2022 ini saya memutuskan untuk mengambil program magister Penelitian dan Evaluasi Pendidikan untuk memperdalam kompetensi saya di bidang pengembangan asesmen dalam pembelajaran. Keterampilan ini saya perlukan untuk dapat mengoptimalkan dukungan terhadap upaya pemerintah dalam merubah paradigma asesmen yang lebih inovatif dan komprehensif, baik dalam pengembangan dokumen, khususnya dokumen panduan projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila, maupun dalam kegiatan pelatihan dan penyebaran praktik baik di berbagai forum pendidikan.

Pada titik ini harapan saya membentang lebih jauh. Dengan kualifikasi magister, saya berencana masuk ke dunia Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk memulai karier menjadi dosen dan pakar asesmen (yang jumlahnya belum banyak di Indonesia). Target jangka panjang, saya ingin mendorong kemajuan kualitas penyiapan tenaga kependidikan sehingga Indonesia akan memiliki calon-calon guru yang lebih kompeten dan passionate di bidang yang akan mereka geluti. Pengalaman hampir 10 tahun menjadi guru bagi saya cukup untuk memahami bagaimana persoalan nyata yang dihadapi oleh para guru sehingga saya yakin dapat melangkah lebih jauh menjadi tenaga pengajar di LPTK. Bukan untuk mengejar status profesi, namun untuk memberikan dampak manfaat yang lebih luas bagi peningkatan kualitas pengajaran di ruang-ruang kelas di seluruh Indonesia.

Untuk mendukung visi perubahan yang sedang saya upayakan, saya merasa layak mendapatkan beasiswa dari pemerintah karena saya yakin tujuan yang sedang saya capai sejalan dengan tujuan pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui bidang pendidikan.

Insyaallah, ke depan saya akan terus mengabdikan diri untuk kemajuan bangsa melalui bidang yang saya tekuni. Untuk memperbaiki kualitas hidup generasi muda, untuk para orang tua yang telah bersusah payah menyekolahkan anaknya, dan untuk semua pihak yang telah mengabdikan hidupnya demi perubahan ke arah yang lebih baik.

Saya yakin, pendidikan adalah kunci.

Salam

M. Rizky Satria

Tentang Sebuah Diskusi: Dari persoalan nalar kritis hingga perdebatan soal nasionalisme. (Bagian 3)

Tentang Konstruksi Identitas dan Pemahaman Kunci Ekonomi Struktural.

Berbicara soal identitas nasional, sebenarnya aku pernah mempunyai pengalaman yang menarik dan bermakna. Dulu aku tak cukup bijak mempertimbangkan soal identitas nasional sebelum mengalami secara langsung hal ini.

Jadi, istriku dulu pernah mengajar di sebuah pulau yang cukup jauh dan terisolasi. Ironisnya, pulau kecil ini sebenarnya tepat berada di tengah-tengah wilayah Indonesia. Pulau Bawean namanya. Dulu ia bercerita jika di pulau Bawean ini, orang-orang lebih condong mengetahui, dan oleh karenanya lebih mencintai, Malaysia daripada Indonesia. Di sana, orang-orang banyak yang fasih berbicara bahasa Malaysia, alih-alih bahasa Indonesia. Banyak ringgit yang beredar, di samping rupiah, bahkan banyak yang memakai kaos Timnas sepakbola Malaysia, daripada Timnas Indonesia. Kenapa? Karena hampir seluruh penduduk di sana sedang atau pernah bekerja di Malaysia. Sebagai TKI, dari mulai pekerja bangunan, pengusaha sukses, hingga tokoh politik. Aku heran dan penasaran. tentunya hal ini menjadi fakta yang cukup menggelitik bagiku.

Hingga akhirnya aku menyetujui saran istriku untuk pergi berbulan madu ke sana. Sekalian aku berniat melakukan riset mandiri. Riset tentang kontruksi identitas keIndonesiaan di sana. Tidak main-main, sebelum berangkat aku beberapa kali melakukan konsultasi ke lembaga penelitian yang sering aku kunjungi sejak lama untuk mempersiapkan penelitian ini. Meskipun hasil riset ini tidak penah tertuliskan dengan baik menjadi sebuah makalah yang utuh, namun pengalaman tinggal bersama masyarakat di sebuah keluarga yang sudah menjadi orangtua angkat istriku di sana dan pengalaman berbincang banyak hal dengan target wawancara dari nelayan, petani, pedagang, hingga tokoh budaya di sana cukup memberiku banyak pelajaran berharga selama tinggal lebih dari satu minggu di tempat yang sangat berkesan itu.

Pada intinya pengalaman ini banyak memberikan pemahaman yang menarik tentang makna identitas keIndonesiaan bagi sebuah daerah yang unik seperti Bawean. Pada akhirnya tidak ada yang salah dengan identitas Malaysia yang jauh lebih terasa di sana dibandingkan Indonesia, karena secara historis ikatan kultural mereka sudah terbangun lama dengan wilayah malaya jauh sebelum konsep Indonesia dan Malaysia sebagai sebuah bangsa terbentuk di kemudian hari. Di samping kenyataan bahwa setelah kemerdekaan, negara sebagai institusi politik juga tidak banyak hadir di sana untuk memberikan timbal balik manfaat yang bermakna.

Namun Bawean tetaplah Bawean, meski lebih mengetahui Kuala Lumpur dibandingkan dengan Jakarta dan lebih senang menggunakan kaos Timnas Malaysia daripada Indonesia, mereka tetaplah bagian dari bangsa Indonesia. Bagian dari wilayah yang memiliki keterhubungan dalam lalu lintas perdagangan nusantara sebagai pulau persinggahan, bagian dari koloni Kerajaan Belanda (terdapat jejak peninggalan Belanda juga di sana), bagian dari daerah yang dideklarasikan masuk ke dalam wilayah Indonesia, bagian dari penutur ragam dialek bahasa Indonesia, bagian dari wilayah administratif yang ikut menjalani pembangunan nasional, bagian dari upaya mencapai cita-cita kemakmuran yang sama, dan bagian-bagian dari banyak hal lain yang kemudian secara lebih esensial tergabung dalam entitas bangsa Indonesia, yang memiliki makna lebih dalam dari sekadar menggunakan sebuah kaos sepakbola. (Terima kasih Pak Cuk, tokoh budaya di sana, yang juga telah mengonfirmasi kesimpulan ini).

Lalu, berbicara tentang rendahnya sikap bela negara dan nasionalisme dalam spektrum kepentingan nasional di tengah percaturan ekonomi politik dunia, seperti yang diutarakan Mardigu, dan juga tentang kesenjangan Papua yang kemudian seakan memecah dikotomi antara kepentingan Indonesia dan Papua, seperti yang diutarakan temanku, semuanya tidak bisa kita pahami secara utuh jika belum memahami kajian ekonomi struktural sebagai bagian dari tradisi kritis dalam ilmu ekonomi dunia.

Kajian ini akan menjawab pertayaan mendasar kenapa otoritas negara saat ini tidak cukup membela kepentingan negara dan kenapa Papua kemudian tereksploitasi secara masif yang melunturkan identitas kebangsaannya sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

Akan menjadi sangat panjang penjelasannya, namun intinya perkembangan corak ekonomi Indonesia dari masa kolonial hingga tumpuan dasarnya pada pembangunan gaya Orde Baru tidak cukup melahirkan kelas menengah yang kuat dalam skema perkembangan sistem kapitalisme dunia. Setidaknya dua buku sederhana dapat menjelaskan hal ini dengan baik, yaitu buku “Runtuhnya Teori Pembanguan dan Globalisasi” karya Mansour Fakih dan buku “Kapitalisme Semu Asia Tenggara” karya Yoshinara Kunio. Sederhananya, akibat terlambatnya manuver Indonesia dalam mengikuti perkembangan industrialisasi dunia, Indonesia secara global kini harus puas menempati struktur terbawah dalam arus ekspansi kapital internasional. Kelas menengah Indonesia hanya berhenti menjadi pemain lapis dua dalam sistem perkenomian dunia, hanya menjadi kapitalisme rente, kalau menurut Yoshinara Kunio. Akhirnya, mereka tidak cukup kuat melobi kepentingan dalam geopolitik dunia, di mana sikap-sikap bela negara dari pemangku otoritas, seperti yang digemaskan oleh Mardigu, sebetulnya juga didorong oleh kepentingan bisnis terkait dengan ekspansi kapital dalam skema perkembangan ini. Jika Amerika hadir membawa kepentingan bisnis swasta, Tiongkok hadir membawa kepentingan bisnis negara. Itu kenapa kedua negara ini, yang sering menjadi objek pembahasan Mardigu, memiliki sikap “bela negara” yang lebih kuat dibandingkan Indonesia.

Tapi apakah kemudian lunturnya sikap bela negara pada pemangku otoritas ini bisa dibenarkan karena alasan ini? Tentu saja tidak. Sejalan dengan teori-teori ekonomi struktural, penghambat pembangunan tidak bisa semata dilihat karena satu faktor apakah intern atau ekstern saja, namun tarik ulur di antara keduanya. Menurutku, Malaysia di paruh akhir abad ke-20, di bawah kepemimpinan Mahathir, adalah contoh yang paling baik untuk menunjukkan sebuah upaya bela negara di tengah statusnya sebagai negara industri baru di Asia Tenggara di tengah skema perkembangan kapitalisme dunia. Karena “kesalahan” resep pembangunan Indonesia di era yang menentukan tersebut, di paruh awal abad ke-21 ini Indonesia kalah jauh dari Malaysia. Karena dorongan bisnis Indonesia tidak lebih baik dari Malaysia, maka kepentingan “bela negara” nya juga tidak lebih baik dari Malaysia dalam percaturan geopolitik dunia.

Lalu bagaimana ke depan? Menurutku kehadiran era baru industri 4.0 dengan segala platform digitalnya bisa menjadi era yang menentukan kembali untuk menemukan resep yang pas bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Semangat bela negara diperlukan untuk membangun kekuatan bisnis yang nantinya akan mendorong bargaining power kepentingan nasional di masa depan. Jadi bela negara mendorong pembangunan dan kepentingan bisnis, sementara kepentingan bisnis kemudian yang mendorong kekuatan bela negara itu sendiri. Saya kita hal ini yang perlu dipahami lebih jauh oleh Mardigu.

Pemahaman ini juga yang akan memberikan sudut pandang lain terhadap persoalan Papua saat ini, yang secara otomatis berpengaruh juga terhadap dinamika konstruksi identitas dalam konteks penyatuan entitas sebagai bangsa Indonesia. Sederhananya, di tengah kompleksitas hubungan Papua dengan daerah-daerah Indonesia lainnya, atau hubungan papua sebagai daerah dengan pemerintah pusat di Jakarta, ada satu hal yang penting bahwa segala dinamika tersebut juga dipengaruhi secara dominan oleh corak pembangunan ekonomi yang diterapkan sejak masa Orde Baru. Bagaimana eksploitasi tercipta karena korporasi dunia mengarah ke sana terkait persoalan tambang dan bagaimana proyek modernisasi dipaksakan tanpa mempertimbangkan identitas kultural di sana. Papua, Jawa, Sumatera, dan lainnya bersama-sama berhadapan dengan proyek pembangunan dan modernisasi yang amburadul atau menggunakan istilah yang sebelumnya, memiliki kesalahan resep dalam segenap programnya (Merujuk pada uraian Mansour Fakih dalam buku yang aku sebutkan tadi). Jadi jika kita menyelami lebih jauh kajian teori pembangunan ini, sesungguhnya Papua tidak sedang berhadapan dengan Jawa, pun berhadapan dengan pemerintah pusat yang di permukaan tampak tidak memiliki identitas kultural yang sama. Papua, sejatinya sedang berhadapan dengan sebuah sistem yang mana sedang dihadapi juga oleh daerah-daerah lainnya di Indonesia.

Saya percaya, Papua dan daerah-daerah lain di Indonesia harus tetap bersatu menghadapi segenap proyek pembangunan yang timpang dan membelenggu dalam konteks sistem ekonomi dunia. Oleh karenanya saya tidak sepakat jika jalan memisahkan diri harus diambil oleh saudara-saudara sebangsa di Papua, karena kita semua memiliki tugas sejarah yang harus sama-sama kita tuntaskan.

Wallahualam bishawab.

Tentang Idealisme dan Keteguhan Hati untuk Mempertahankannya

Siang tadi di ruang guru, seorang teman berkata dengan santai saat dia sedang berbincang dengan temanku yang lain, “Nih, si akang nih masih idealis. Liat aja nanti kalo udah tua. …” Seketika aku yang sedang tertegun memainkan handphone langsung terhenyak. “Apa maksudnya? Idealis apa?” Aku mencoba memastikan apa yang aku dengar. “Ya, ente sekarang kan masih idealis, tapi lihat nanti, sekarang kan ente masih muda, lihat aja nanti beberapa tahun yang akan datang” terangnya sambil tertawa, memperjelas apa yang ia sampaikan di awal. Mendengar pernyataan demikian, emosiku tiba-tiba saja terpancing. Akhirnya dengan nada serius aku katakan dengan tegas, “Saya tidak main-main. Saya akan tetap seperti ini sampai mati!”

Berselang waktu kemudian aku berpikir, “Kenapa aku harus merasa seemosional itu?” Kenapa aku hampir terpancing untuk “marah”? Ada apa sebenarnya dengan diriku? Ayolah, obrolan tadi kan tidak serius. Hanya kelakar-kelakar santai di ruang guru saja. Kenapa aku harus menanggapinya dengan serius? Akhirnya, dari pertanyaan-pertanyaan itu aku mencoba memikirkan lebih jauh soal idealisme dan pengalaman hidupku.

Menelusur Idealisme

Temanku menganggapku sebagai seorang idealis, mungkin karena pendapat-pendapat yang sering aku kemukakan setiap kali kami berdiskusi tentang segala hal di warung kopi, terutama tentang obrolan politik dan pendidikan. Secara umum kata idealis disematkan kepada seseorang yang memiliki pandangan yang ideal tentang sesuatu hal. Lebih jauh, idealis berarti seseorang yang menginginkan terciptanya kondisi yang ideal, terutama atas apa yang sedang terjadi di kehidupan masyarakat.

Aku idealis? Ya. Aku yakini itu. Tapi darimana ini bermula? Aku coba menelusur kembali ke masa lalu.

Sejak kecil aku sudah mempunyai cita-cita, setidaknya mulai aku nyatakan sejak SMP, bahwa aku ingin bisa membantu orang lain, merubah keadaan. Keadaan seperti apa yang ingin aku ubah? Keadaan teman-teman rumahku dan masyarakat di mana aku tumbuh, yang penuh dengan drama-drama kemiskinan: Kekerasan, putus sekolah, kesulitan hidup, keburukan sanitasi dan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Kondisi yang benar-benar berkebalikan dengan apa yang aku pelajari di sekolah, bahwa negara kita adalah negara yang kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Sejak kecil aku sudah memiliki kesadaran, bahwa ada yang salah dengan semua kondisi itu.

Berlanjut di SMA, saat aku memilih dengan yakin untuk masuk ke jurusan IPS dan meneruskan tradisi berdiskusi dengan teman-teman tentang kondisi negara dan isu-isu seperti pemilu, demokrasi, dan arti kemerdekaan. Akhirnya, meski nilaiku tidak pernah cemerlang, karena kurang serius mengerjakan tugas dan menyiapkan ujian, teman-teman sekolahku mengenalku sebagai orang yang mahir dalam pelajaran ilmu tata negara.

Di kampus, kondisinya tidak jauh berbeda, meski IPK ku tidak pernah cemerlang, tapi teman-teman mengenalku sebagai orang yang pandai berdiskusi. Oleh karenanya, hal itu yang mengantarkanku untuk berkarir dengan mulus di sebuah organisasi ekstra kampus yang terkenal kritis dan cukup “radikal” pada masa itu. Di titik itu, atas euforia hasrat perlawanan di usia remaja dan kajian yang cukup mendalam terhadap ilmu sosial kritis, pemahamanku tentang kondisi yang ideal semakin kuat terbentuk. Aku semakin idealis.

Selepas berkuliah, beberapa kali aku berpikir, sampai kapan aku akan tetap seperti ini, bersikeras dengan idealisme untuk bisa merubah keadaan. Bersikeras dengan ide-ide kritis yang seringkali tidak sejalan dengan pandangan orang pada umumnya. Terutama saat seiring dengan waktu aku melihat teman-teman seperjuangan yang lain perlahan mulai berguguran: Berhenti bersikap idealis dan memilih menjadi seperti orang pada umumnya dengan alasan yang sederhana: Menjadi idealis itu tidak nyaman, menghabiskan waktu dan energi, sedangkan menjadi orang pada umumnya relatif aman dan nyaman. Anggaplah kita sedang berenang, bukankah lebih baik mengikuti arus sungai yang deras daripada bersikeras untuk bertahan atau bahkan melawannya? Di tengah kondisi ini, pilihan untuk tetap bertahan kerap menyisakan kesedihan dan kekecewaan karena semakin lama kita semakin merasa sendirian.

Anatomi Idealisme

Semakin sulit mempertahankan idealisme di usia mapan. Selain karena menjadi berbeda dengan orang kebanyakan, idealisme juga butuh banyak pengorbanan. Hal yang semakin sulit kita tawar terlebih ketika kita sudah berkeluarga dan benar-benar membutuhkan kemapanan untuk mempertahankannya.

Namun, aku tetap bersikeras. Sementara aku menyadari hal baru, banyak kawan yang meninggalkan idealisme karena umumnya mereka hanya menyandarkan idealismenya atas dua hal: Tumbuhnya hasrat perlawanan di usia menjelang dewasa dan keterpesonaan atas kajian kritis yang anti mainstream (ide-ide kiri dan yang selaras dengannya). Ya, akupun demikian, tapi apa yang terus menjaga hasrat idealismeku tetap menyala? Jawabannya ada pada awal di mana idealisme itu terbentuk: “Keinginan untuk membantu orang lain dan merubah keadaaan”.  Namun, bukankah orang lain juga memiliki keinginan yang sama atas hal itu pada awalnya?

Baiklah, untuk menyederhanakan, kita anggap idealisme seseorang terbentuk atas 3 hal: 1. Tumbuhnya hasrat perlawanan di usia menjelang dewasa, 2. Keterpesonaan atas kajian kritis yang anti mainstream, dan 3. Keinginan untuk merubah keadaan. Nah, persoalannya, ketiga hal ini memiliki tempat yang berbeda untuk setiap orang. Manakah yang menjadi sandaran utama? Manakah yang menjadi the main point of desire?

Jika jawabannya yang pertama, maka idealisme akan berkurang atau bahkan hilang seiring dengan bertambahnya usia. Jika jawabannya yang kedua, maka idealisme akan berkurang seiring dengan terpenuhinya hasrat keilmuan atas ide-ide anti mainstream yang semakin lama biasanya terasa membosankan dan semakin tidak rasional. Namun, jika jawabannya yang ketiga, maka idealisme akan berkurang jika kondisi masyarakat memang sudah berubah menjadi lebih baik (Atau lebih jauh, idealisme akan terus bertahan karena kondisi yang baik juga sejatinya butuh untuk dipertahankan).

Lalu bagaimana dengan seseorang yang dari awal berkeinginan merubah keadaan, menjadi idealis, namun kemudian juga menyerah karena merasa keadaan terlalu rumit untuk bisa dirubah? Ya, berarti ia tidak cukup baik memiliki poin yang kedua (Baca: Tidak cukup radikal memahami sesuatu hal). Atau jangan-jangan, keinginan untuk merubah keadaaan itu tidak dibarengi dengan energi yang cukup untuk mempertahankannya.

Aku berpikir, aku beruntung karena mempunyai ketiga unsur itu dan memiliki unsur yang ketiga sebagai sandaran utamanya. Lalu, dari mana aku mendapatkan energi yang cukup untuk mempertahankannya? Ternyata jawabannya adalah: Keteguhan hati untuk mempertahankan prinsip kebenaran dan meyakini sesuatu yang bernilai untuk diperjuangakan.

Pengorbanan dan Harapan Atas Idealisme

Tidak mudah mempertahankan idealisme. Sesederhana mempertahankan sesuatu yang kita yakini benar di tengah banyak persinggungan dan gesekan dengan faktor lain di sekeliling kita, hingga serumit memperjuangkan cita-cita besar dengan segenap peluh dan keringat untuk mewujudkannya.

Idealisme yang membuatku bertahan menyusun skripsi selama bertahun-tahun, membuang-buang waktu yang berharga, sekadar ingin menantang arogansi sang dosen dengan paradigma positivisnya yang sering merasa alergi dengan ide-ide kritis dari mahasiswa. Idealisme yang juga tanpa sadar telah membantu memporakporandakan bangunan keluarga kecil yang pernah aku miliki. Idealisme yang pada awalnya mendorongku memilih profesi bergaji rendah padahal aku bisa memilih pekerjaaan lain yang lebih menjajikan secara finansial. Idealisme yang kini, membuatku bekerja hampir 12 jam perhari karena mengurus pekerjaan reguler dan menambahnya dengan pekerjaan lain di bidang kerelawanan. Idealismelah penyebab semua pilihan sulit yang aku jalani. Idealismelah yang membuatku tegap berprinsip hingga sampai di titik ini. Saat ini.

Karena hingga kini aku yakin, idealisme adalah faktor terpenting untuk mendorong perubahan yang lebih besar, bukan soal perubahan untuk diri sendiri. Karena perubahan untuk skala besar bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, maka para idealis adalah tokoh kunci untuk merealisasikannya. Aku yakin, orang-orang idealis dibutuhkan untuk merubah keadaan negara ini menjadi lebih baik. Bukankah Sukarno dan para founding father kita telah membuktikannya? Maka menyerahnya para idealis telah mengundurkan momentum perubahan dan kemajuan untuk kondisi perubahan yang sama-sama kita inginkan.

Di usiaku yang sudah melewati kepala tiga, sudah banyak tantangan, pengorbanan, kekecewan, dan jatuh bangun harapan yang aku alami. Atas pengalaman itu, pantas saja alam bawah sadarku tergelitik saat seseorang berkata dengan santainya jika idealismeku akan luntur seiring dengan bertambahnya usia.

Semoga, dengan landasan historis yang kuat dan anatomi yang utuh, aku akan tetap menjadi seorang idealis untuk memperjuangkan apa yang aku yakini benar demi terciptanya perubahan kondisi masyarakat yang sejak awal aku cita-citakan.

Semoga Tuhan meridhoi apa yang aku katakan dengan serius di siang tadi, “Saya tidak main-main. Saya akan tetap seperti ini sampai mati!”

Semangat Menulis 2.0

Sudah lama sekali tidak menulis sesuatu di blog ini. Hmm, terlalu banyak alasan yang klise: Sibuk, tidak ada waktu menulis, banyak pekerjaan lain, dan sebagainya. Padahal untukku tidak pernah ada istilah “tidak ada ide untuk menulis”. Yang ada, dengan tidak menulis, aku jadi sering menyayangkan karena ada banyak pengalaman seru, menarik, dan kaya makna yang akhirnya hilang terlupakan begitu saja karena tidak tertuliskan. ☹

Sudah sering juga aku menulis, “Mulai saat ini aku akan rajin menulis dan konsisten mempostingnya di blog!” Tapi juga selalu berakhir dengan hal yang sama: berhenti menulis dengan meninggalkan postingan terakhir berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun yang lalu 😐. Kemudian kembali berujar: Memang kesibukan ini membelenggu, memang tidak ada waktu, memang susah menyempatkan menulis, dan lain sebagainya.

Tapi kini aku jadi teringat ketika Kak Robert, kawan diskusiku, berkata saat membahas soal sulitnya mengadakan pertemuan dengan teman lama: “Sebenarnya tidak ada kata ‘Tidak Bisa’, yang ada adalah ‘Tidak berusaha memprioritaskannya.” Jleb. Ternyata bukan hanya dalam hal menemui teman lama (atau mengikuti acara reuni) saja, kalimat ajaib ini juga berlaku untuk hampir segala hal. Kecuali karena force majeur atau kehendak Tuhan, semuanya bisa dilakukan jika kita berusaha memprioritaskannya: Konsisten solat di saat sibuk bekerja, menabung untuk menyekolahkan anak di sekolah bagus (baca: mahal) padahal gaji pas-pasan, bersedekah padahal gaji pas-pasan, menyempatkan berolahraga di tengah aktivitas yang padat, dan tentunya MENULIS DI TENGAH KESIBUKAN BEKERJA! 😀

Baiklah. Anggap saja ini adalah sebuah manifesto dari semangat baru. Semangat menulis 2.0. Semoga ke depan aku bisa merealisasikannya: Konsisten menulis untuk menghidupi blog yang sudah lama kesepian. 😊

Bandung Kamari: Berbagi Cerita Bersama Kang Amun dan Kang Jefri.

“Maka jika saat ini Bandung dikenal sebagai kota yang kreatif, bagi saya itu bukan sesuatu hal yang baru, karena sejak dahulunya Bandung memang sudah seperti itu”, jelas Kang Amun.

Hari Rabu lalu, sambil melanjutkan tadarusan buku The Colour Curtain-nya Richard Wright, AARC kedatangan tamu keren yang kembali berbagi kisah menarik tentang sejarah. Namanya Kang Amun (Mamun Rustina). Ia datang bersama dua orang temannya sesama tour guide di Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI). Kang Amun, dengan salah satu temannya yang bernama Kang Jefri, banyak bercerita tentang Bandung tempo dulu dan kaitannya dengan KAA. Sebuah topik cerita yang bagiku menarik dan tak ada habisnya untuk terus dibahas.

Kang Amun membuka cerita dengan mengapresiasi Kota Bandung sebagai ibukotanya Asia-Afrika, yang telah menjadi tempat bagi konperensi besar yang pertama kali diadakan di luar Amerika dan Uni Sovyet. Bandung, untuk pertama kalinya telah menjadi tempat berkumpul bagi perwakilan penduduk dunia yang berbeda-beda warna kulitnya. Semuanya melebur menjadi satu dengan berpegang pada semangat yang sama: Persamaan dan kemerdekaan. “Dan luar biasa, 30 negara bisa merdeka setelah KAA, higga kini, kecuali Palestina”, jelas Kang Amun.

Bandung Kota Kreatif: Dari Ici Seeng hingga KAA dan setelahnya.

Kang Amun kemudian berkisah, jika dulu di Bandung ada tokoh penting yang bernama Ici Seeng. Ia adalah salah seorang tokoh yang memeriahkan perkembangan kota Bandung sebagai Kota Kembang. Ya, kota kembang yang menjadi julukan untuk Bandung sebenarnya bukan bermakna denotatif, tapi konotatif. Istilah kembang merujuk pada perempuan cantik, gadis pribumi dan noni noni Belanda, yang bahkan sejak dahulunya menjadi golongan penduduk yang sudah ramai mempercantik kota Bandung. Pada saat itu, di sekitar tahun 30an, Bandung sudah dikenal sebagai kota yang menarik bagi para wisatawan. Bahkan Kang Jefri bercerita, jika dahulu Bandung bahkan sampai dipromosikan di pesawat-pesawat KLM (maskapai penerbangan Belanda). “Mainlah ke Bandung, istri tinggal di rumah!, begitu kalimat iklannya”, seloroh Kang Jefri.

Dahulu, kisah Kang Amun, jalan Braga adalah tempat untuk “ngabaraga” atau menunjukkan raga (show off), karena Braga adalah sebuah pusat kota di mana orang-orang Belanda mengenakan fesyen yang up to date, atau yang kekinian pada zamannya. Begitu ada model pakaian baru yang menjadi tren di Paris atau di Amsterdam, beberapa waktu kemudian penduduk Belanda di Bandung sudah ikut mengenakan model pakaian yang serupa.

Kemudian kata Kang Amun, dahulu di tahun 30an ada sekelompok tim yang dibentuk khusus untuk mempromosikan kota Bandung sebagai kota wisata yang kreatif. Sekelompok tim ini (saya lupa lagi namanya) adalah yang pertama kali mempopulerkan Bandung sebagai “Parijs Van Java”, sebagai “De Bloem Stad” (kota kembang). Dahulu juga kata Kang Amun, dan ini yang paling menarik, penduduk Bandung sudah dikenal senang berkomunitas dan berpartisipasi aktif dalam event-event kota. Oleh karenannya ketika KAA digelar di tahun 50an, persis seperti event peringatan 60 tahun KAA digelar setahun kemarin, ribuan warga Bandung baik secara individu maupun komunitas aktif berpartisipasi menjadi sukarelawan yang bersedia menyumbangkan apapun demi memeriahkan acara tersebut. Ada sekian banyak pemuda yang mendaftarkan diri menjadi sukarelawan, juga ada banyak komunitas yang ikur berpartisipasi, seperti komunitas mobil Mercy yang ikut menyediakan mobil-mobilnya untuk para delegasi asing secara cuma-cuma.

14202508_10207468503769959_6750370653074482980_n

Sumber: FB Lely Mei

“Maka jika saat ini Bandung dikenal sebagai kota yang kreatif, bagi saya itu bukan sesuatu hal yang baru, karena sejak dahulunya Bandung memang sudah seperti itu”, jelas Kang Amun.

Kang Jefri kemudian menyambung, menceritakan kelahiran Kota Bandung yang mulai dibangun tahun 1700an hingga berkembang pesat sejak awal abad ke-20. Dari cerita panjangnya, satu hal menarik adalah tentang adanya tradisi kemajuan di kota Bandung dengan dilakukannya berbagai kegiatan pelopor penelitian, seperti penelitian vaksin (biofarma) dan astronomi (Boscha). “Observatorium Boscha itu adalah observatorium pertama yang ada di Asia Tenggara”, jelasnya dengan bangga.

Kang Amun dan Kang Jefri terus bercerita, ngaler-ngidul, dari topik tentang nama unik sebuah daerah yang berama Cibudug dan Ledeh Kehed, tentang sejarah teh manis, hingga tentang pernah adanya debat terbuka antara A Hasan (pendiri Persis) dengan kubu Ahmadiyah yang masuk dalam catatan lembaran negara pada masa Sukarno.

Luar biasa, hingga habis sesi pertemuan untuk malam itu, Kang Jefri masih bersemangat saja untuk terus berbagi cerita. Namun karena pertimbangan waktu, kegiatan ngawangkong itu kemudian ditutup dengan pemberian sertifikat dan cindera mata dari AARC disambut ucapan hatur nuhun yang bersahutan dari semua orang yang hadir di sana.

Dari sesi berbagi cerita ini, satu catatan penting dari Kang Amun adalah tentang adanya 3 lintasan waktu dalam sejarah, yang ia sebut dengan Bandung kamari, Bandung kiwari, jeung Bandung bihari (Bandung dahulu, Bandung sekarang, dan Bandung masa depan). Bahwa Bandung dahulu adalah kota yang aktif dan kreatif, maka tugas kita saat ini adalah untuk terus mendukung dan melestarikannya. Karena Bandung di masa depan yang entah akan menjadi seperti apa tergantung dari bagaimana cara kita menyikapi segala kondisinya saat ini.

Begitulah, seturut dengan keyakinanku bahwa belajar sejarah bukan hanya untuk kesenangan beromantika semata, tapi lebih jauhnya untuk memahami segala pengalaman sehingga jelas apa yang mesti kita lakukan saat ini untuk masa depan yang semakin baik.

Oh ya, satu lagi, belajar sejarah tentunya adalah juga untuk semakin memahami dan meneguhkan bagaimana bentuknya identitas kita.

Ya, Bandung kota kreatif. Prung ah!, hayu asah terus kreatipitas jang kamajuan urang sarerea.

 

Refleksi Agustus 2016: Tentang Kecintaan Tanah Air yang Berkesadaran

Ada yang berbeda dengan peringatan momen agustusan di tahun ini. Peringatan yang biasanya diisi dengan kegiatan upacara dan berbagai perlombaan khas agustusan itu kali ini kami isi dengan acara Slametan Awal Tahun pelajaran baru kegiatan sekolah. Dua acara yang biasanya terpisah namun untuk tahun ini disatukan karena waktunya yang ternyata tidak terlampau jauh. Alhasil, jadilah sebuah kegiatan menarik berbentuk Selametan sekaligus Peringatan Hari Kemerdekaan yang diisi dengan acara bermain, berpetualang, dan mengikuti renungan kebangsaan bersama.

Kegiatan yang diadakan di sekitaran Lembang ini terselenggara dengan lancar berkat kerjasama yang apik antara guru dan orang tua, dan kemudian, dilaksanakan dengan sukacita berkat kerjasama yang kompak antara guru, orang tua, dan semua anak-anak dari jenjang KB hingga KPB (SMA).

Acara yang sederhana namun meriah dan penuh suka cita ini dimulai dengan berdoa dan waktu hening, kemudian melakukan tracking/hiking (opsional), mendirikan tiang bendera, melakukan pengkhidmatan sambil menaikkan bendera, melakukan perenungan kebangsaan (bersama kak Andy, Mas Imam, dan kang Aat Suratin), dan diakhiri dengan makan-makan bersama dengan beralaskan tikar dan daun pisang.

Dari setiap sesi yang seru dan menarik dalam rangkaian kegiatan tersebut, ada satu hal di sebuah sesi yang membuat saya terus berpikir dan cukup “memaksa” saya untuk kemudian merenung. Hal tersebut adalah apa yang disampaikan oleh Kang Aaat dalam sesi perenungan kebangsaan tentang menghayati kembali makna kecintaan kita terhadap tanah air.

Sadar diri, sadar lingkungan, sadar tujuan: Rumus sederhana untuk benar-benar mencintai tanah air.

Kang Aat, dalam pidato singkatnya, menyampaikan tentang upaya memaknai dan mensyukuri kemerdekaan dengan mengajak kita semua untuk, menggunakan istilah yang sering dibahas di Semipalar, menjadi seorang manusia yang berkesadaran.

Melalui momen peringatan kemerdekaan bangsa, Kang Aat mengajak kita untuk merenungkan kembali kecintaan terhadap tanah air dengan membangun kesadaran terhadap diri, lingkungan, dan tujuan. Kesadaran yang utuh akan melahirkan pemahaman yang baik, di mana pemahaman yang baik akan dapat melahirkan tindakan yang tepat. Begitulah kurang lebih maksud yang ingin disampaikan Kang Aat dalam pidatonya.

Mengenai tiga jenis kesadaran yang disampaikan oleh Kang Aat, saya sendiri mencoba mengaitkan konsep tersebut dengan peran diri saya sendiri bagi bangsa Indonesia. Dari hasil persepsi dan perenungan saya, yang mungkin berbeda dengan maksud Kang Aat, kurang lebih beginilah bentuknya:

Sadar Diri. Sadar dengan status saya sebagai seorang guru/fasilitator pembelajaran yang seharusnya dapat terus belajar, berinovasi, dan memperkaya diri dengan beragam keterampilan untuk menemani anak-anak menemukan dan menggali potensi dirinya. Sadar bahwa saya tidak lebih dari sekadar makhluk Tuhan yang, atas pilihan hidupnya menjadi seorang guru, tentu bisa ikut memberikan sesuatu bagi bangsa ini melalui jalur pendidikan.

Sadar Lingkungan. Bahwa peran saya sebagai seorang guru di tengah kondisi bangsa dengan segudang permasalahan yang membelenggunya ini bukanlah sebuah tugas yang mudah. Pembangunan model kerjasama pendidikan yang baik antara guru dan orangtua hingga antara institusi sekolah dengan pemerintah menjadi sesuatu yang tidak ada habisnya diangkat ke permukaan dan menjadi lahan perbincangan (untuk tidak mengatakan pertentangan) antara satu aliran pendapat dan aliran pendapat lainnya. Menyadari bahwa semuanya saling terkoneksikan, bahwa saya adalah sebuah sekrup yang berkerja dalam sebuah sistem yang besar, membuat saya sadar bahwa, mengutip sebuah petikan dalam buku Pendidikan Popular, “Jika anda bukan bagian dari penyelesaian; anda merupakan bagian dari persoalan”. Maka ketika hanya tersisa dua pilihan: ikut menjadi solusi atau permasalahan?, tentu insya Allah saya akan memilih untuk menjadi bagian dari solusi.

Sadar Tujuan. Tujuan bangsa kita bernegara, menurut para founding father kita, adalah untuk mengusahakan terwujudnya masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera. Sedangkan tujuan pendidikan, yang tercantum dalam Undang-Undang, adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dengan melahirkan manusia-manusia yang utuh. Kemudian tujuan pembelajaran di Semipalar adalah mengantarkan setiap anak menemukan bintang (potensi dan keutuhan diri)nya sendiri. Tujuan-tujuan ini, dari yang pertama hingga yang terakhir saya sebutkan, bukanlah sebuah tujuan yang terpisah satu sama lain, namun sebuah tujuan yang berada dalam satu garis yang sama, dan tentunya jadi mesti kita perjuangkan bersama. Maka bagi saya sendiri, peran guru bukan hanya sekadar urusan bekerja untuk membuat setiap anak menemukan keutuhan untuk dirinya saja, tetapi lebih dari itu, adalah usaha untuk membantu setiap anak menemukan keutuhan dirinya untuk juga menemukan kebermanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kembali ke acara peringatan kemerdekaan bersama keluarga besar Semipalar, setelah semua sesi dalam rangkaian acaranya selesai, kami semua berpamitan pulang. Dalam hal ini, terdapat satu hal yang menarik ketika konsep sadar diri, lingkungan, dan tujuan sebagai manusia yang ramah lingkungan dapat dipraktikkan keluarga Semipalar dengan tidak meninggalkan sampah di area acara yang padahal diikuti oleh ratusan orang yang melakukan beragam kegiatan bersama. Sadar bahwa diri kita adalah seorang manusia berbudaya yang terkoneksikan dengan alam sekitar, dan bahwa sikap ramah lingkungan bertujuan untuk menciptakan lingkungan bersih yang lestari dan berkelanjutan, adalah bentuk dari penerapan makna kecintaan terhadap tanah air yang berkesadaran, dalam konteks peran kita sebagai pengguna lingkungan.

Maka, setelah semuanya kembali menjalankan aktifitas dalam konteks peran lain yang berbeda, sebagai guru, sebagai siswa, sebagai karyawan, sebagai pejabat, sebagai seniman, sebagai pengusaha, sebagai ibu rumah tangga, dan lain sebagainya, apakah kita juga bisa menunjukkan kecintaan terhadap tanah air yang berkesadaran sesuai dengan perannya masing-masing?. Tentu, jika kita dapat merasakan khidmatnya sesi penaikan dan penghormatan bendera sebagai bentuk kecintaan kita terhadap tanah air, maka merenungkan apa yang bisa kita berikan untuk bangsa ini sesuai dengan kesadaran peran kita masing-masing bukanlah sesuatu yang sulit.

Oleh karenanya saya percaya, jika ajakan perenungan kebangsaan yang disampaikan oleh Kang Aat itu dapat dihayati dan dimaknai dengan baik, maka acara Slametan dan peringatan kemerdekaan ini tidak hanya telah bermanfaat untuk kebersamaan kita sebagai bagian dari keluarga besar Semipalar saja. Namun lebih dari itu, acara ini telah bermanfaat untuk kebersamaan kita sebagai bagian dari keluarga besar bangsa Indonesia.

 

Sebuah cerita di hari libur: dari sarapan bubur sampai urusan soal kultur.

Ada sebuah kebiasaan yang cukup menyenangkan di hari libur ketika aku dan beberapa temanku dari tempat tinggal yang berbeda janjian untuk bersarapan bareng. Tadi pagi, seperti biasa, yang berinisiatif untuk mengajak adalah Yudha. Akhirnya aku, Yudha, dan Aganis menyantap semangkuk bubur spesial dengan teh panas yang cukup nikmat di jalan Cihampelas atas sekitar depan SMA 2 Bandung, sambil mengobrol hal-hal ringan seputar topik keseharian.

Setelah itu, kami memutuskan untuk pergi ke Taman Cibeuying untuk melanjutkan obrolan sambil sekadar mencari suasana yang nyaman di sebuah taman. Dengan ditemani segelas kopi hangat, obrolan kami yang cukup panjang sampai pada diskusi-diskusi ringan terkait urusan pekerjaan sehari-hari. Every time is the best time for sharing.

Menjelang siang kami beranjak pulang. Namun, sebelum pulang kami berjalan-jalan dulu sambil melihat-lihat pedagang emperan di sebelah Taman Cibeunying yang dikenal banyak menjual barang-barang loak. Di sana aku melihat-lihat emperan pedagang buku bekas dan menemukan sebuah buku yang tiba-tiba menarik perhatianku. Judulnya “Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial”. Langsung terlintas di pikiranku, budaya politik? Bagaimana memang rupanya budaya politik Indonesia? Dan apa keterkaitannya dengan keadilan sosial?. Setelah kutanyakan harga buku itu, ternyata hanya dijual seharga Rp.10.000. Bahkan, ketika aku iseng menawar, pedagang itu akhirnya bersedia melepas buku itu menjadi Rp.8.000. Tanpa pikir panjang aku segera membayar dan membawanya pulang.

Sesampainya di rumah aku langsung membuka buku yang baru aku beli dengan harga yang fantastis itu. Buku ini menarik perhatianku karena setidaknya:  pertama, isinya berkaitan dengan topik favorit yang aku sukai, “keadilan sosial”. Ke dua, istilah “kebudayaan politik” dalam judul buku itu mengingatkanku pada kasus etika politik Setya Novanto yang kini sedang gencar diberitakan oleh media, yang cukup juga menarik perhatianku.

Ya, masalah etika politik menjadi topik yang sedang ramai diperbincangkan masyarakat sejak mencuatnya kasus Setya Novanto, seorang ketua DPR yang diindikasikan telah melanggar etika dewan karena mencatut nama presiden saat “ketahuan” melobi Presdir Freepor terkait dengan perpanjangan kontraknya di Indonesia. Kasus ini menambah catatan suram kinerja elit politik yang sedari dulu selalu saja hanya terlihat mementingkan kepentingan sendiri dan partainya masing-masing di atas kepentingan masyarakat umum dan negara. Kondisi ini semakin jelas terlihat ketika dalam kasus ini, lagi-lagi, para elit politik terbelah ke dalam dua kubu yang saling berseberangan karena perbedaan kepentingan. Alih-alih mencapai sebuah konsensus, setiap rapat parlemen selalu riuh karena saling berargumen untuk bisa menekan satu sam lain.

Lalu, apakah memang kultur politik di Indonesia seperti demikian? Buku seharga Rp.8000 inilah yang sedikit banyak bisa membantu untuk menjawabnya.

Kasus Novanto: Soal kultur politik warisan kolonial VS pembanguan kultur politik baru yang bersih dan sehat.

Dalam hal ini, ulasan dari Burhan Magenda tentang proses pembangunan budaya politik nasional cukup menarik perhatianku. Menurutnya, masalah utama sistem politik Indonesia adalah masih barunya suatu polity yang bersifat supralokal dan multietnik, yang seharusnya berperan menghimpun beragam budaya politik tradisional yang ada di nusantara. Bagaimana tidak, pelaksanaan konsep negara-bangsa Indonesia sendiri baru dimulai pasca kemerdekaan tahun 1945, sedangkan sejak ratusan tahun sebelumnya berbagai wilayah di nusantara terbagi-bagi ke dalam budaya politik yang bervariasi dan terbentang dari masa komunal, feodal, hingga kolonial.

Dalam perkembangannya, selain kuatnya pengaruh westernisasi budaya politik modern, hanya budaya politik tradisional Jawa yang tampil dengan cukup menonjol dalam budaya politik nasional. Hal ini terkait dengan  sistem pemerintahan kolonial yang menerapkan pemerintahan langsung (direct rule) untuk pulau Jawa dan pemerintahan tidak langsung (indirect rule) untuk wilayah lain. Magenda menuturkan, bahwa untuk daerah yang diperintah secara langsung (Jawa), masyarakat sudah terbiasa dengan adanya birokrasi yang kemudian menjadi embrio dari birokrasi nasional.

Berangkat dari hal ini, menurutku, bukan hanya struktur keterampilan teknisnya saja yang diwariskan oleh birokrasi kolonial tersebut, tapi juga mencakup tradisi mentalitas penghambaan yang menggenapinya. Dalam catatan sejarah, dapat dilihat bahwa Belanda pada jaman dulu memanfaatkan struktur feodal yang ada untuk menguasai wilayah nusantara secara efisien. Para wedana, bupati, bahkan raja-raja setempat mampu hidup dengan nyaman pada masa kolonial karena menghamba pada kepentingan Belanda yang memiliki kekuatan politik yang lebih besar. Kemudian, semenjak dibukanya politik pintu terbuka menjelang abad ke-20, kepentingan-kepentingan penguasaan wilayah juga bukan hanya dari Belanda, tapi dari seluruh bangsa Eropa yang menanamkan investasinya di wilayah nusantara.

Ya, dunia berubah tapi banyak hal yang tetap sama. Meskipun Indonesia sudah beberapa kali mengalami masa pergantian kepemimpinan di era kemerdekaan, kultur politik soal mentalitas elit politik yang oportunistik itu nampak tidak banyak berubah.

Namun, secercah harapan muncul dan semakin bersinar saat semakin banyak orang mulai memiliki mentalitas baru yang progresif. Di antaranya adalah Sudirman Said. Profilnya sebagai pendiri Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia dan Indonesia Institute for Corporate Governance sebelum menjadi menteri ESDM, cukup meyakinkan untuk menunjukkan kapasitas dirinya sebagai seorang elit yang mendukung kultur politik yang independen, sehat, dan bersih. Jika Sjamsoeddin, sang Presdir Freeport yang ironisnya adalah mantan petinggi BIN itu, menyadari kebangkitan mentalitas progresif ini dalam diri Sudirman, ia mungkin tidak akan melakukan blunder dengan memberikan rekaman pembicaraannya dengan seorang elit konservatif bernama  Setya Novanto yang cukup menggemparkan itu.

Ciri kebudayaan politik Indonesia

Selanjutnya, ada juga ulasan yang menarik dari Magenda tentang sembilan ciri kebudayaan politik di Indonesia. Tiga di antaranya adalah “Tingkat konsensus yang sangat rendah”, “Kuatnya peranan kelompok penekan dan kelompok kepentingan”, dan “Komitmen yang tinggi kepada asas keadilan sosial”.

Bahwa, pertama budaya politik di Indonesia sulit untuk membangun sebuah konsensus, disebabkan karena adanya tradisi pemerintahan otoriter yang sudah berjalan sangat lama pada sistem politiknya. Sejarah mencatat, jika selepas masa kolonial dan mencapai kemerdekaan, Indonesia tidak pernah mencapai konsensus yang bulat kecuali di bawah kekuasaan totaliter Sukarno (59-67) dan Suharto (67-98). Ke dua, bahwa selalu ada kelompok penekan dalam budaya politik Indonesia yang berperan kuat dalam menyeimbangkan kekuatan atau menjadi agen perubah keadaan. Sejarah mencatat jika AD, PKI, golongan agama, mahasiswa, dan juga banyak kelompok lainnya yang pernah berperan sebagai kelompok penekan ini. Ke tiga, bahwa sebenarnya budaya politik Indonesia baik dalam tataran nasional atau tradisional (etnik) banyak mengandung visi keadilan sosial. Dari tradisi kultural suku-suku yang ada di nusantara hingga bentuk manifestasinya yang berskala nasional dalam bentuk sila dasar negara, adalah bentuk nyata dari prinsip keadilan sosial ini. Meskipun, sayangnya, nilai-nilai pembangunan modern yang liberal pada akhirnya telah mengaburkan idealisme ini dan mendesaknya masuk ke dalam tataran yang hanya bersifat normatif saja.

Maka, melihat adanya tradisi budaya kolonial (Novanto) yang sedang ditantang oleh pembangunan kultur politik baru (Sudirman) saat ini, sesungguhnya kita bisa ikut mendukung gerakan ke arah pembaharauan dengan menjadi/mendukung kelompok penekan di belakang Sudirman untuk kemudian menghidupkan kembali kultur politik yang bervisi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita semua, bisa memulainya dengan mencoba memahami budaya politik di Indonesia untuk kemudian membangun kehidupan politik yang berbudaya dan modern. Karena kunci dari keberhasilan demokrasi adalah kesadaran politik yang baik dari setiap warganya.

 

Sekian inspirasiku di hari ini.

Memahami Persepsi dan Kontrol Diri: Catatan Inspiratif dari Gobind Vashdev

Tintin: “Kabar buruk. Kapten. Kita hanya punya satu peluru!”
Kapten: “Apa kabar baiknya?”
Tintin: “Kita masih punya satu peluru.”.
______The Adventure of Tintin: Secret of the Unicorn

Mengambil makna positif dalam setiap kejadian, itulah kata kunci dari apa yang ingin disampaikan oleh Gobind Vashdev dalam obrolan dengan Kakak-Kakak di Smipa hari Jumat tanggal 21 Februari lalu. Lebih jauh pesan yang ingin disampaikannya adalah bahwa kita sebenarnya bisa merubah dunia menjadi lebih baik, hanya dengan membangun seperangkat persepsi yang tepat terhadap kehidupan.

Kehidupan dunia dengan sekelumit permasalahan yang melingkupinya terkadang membuat kita terlena dalam sebuah ketakutan, kekecewaan, dan belenggu beban yang tak berujung. Beragam kecemasan inilah yang pada akhirnya membuat kita sibuk untuk bisa sekadar berefleksi, sejenak keluar dari diri kita sendiri sebagai subyek, dan melihatnya sebagai obyek di tengah relasinya dengan dunia.

Dengan memposisikan diri sebagai obyek dan subyek secara bersamaan, kita akan terlatih untuk berpikir secara metakognisi (memikirkan apa yang kita pikirkan). Sebuah keterampilan awal yang baik sebagai modal untuk berefleksi, menjadi subyek yang sadar memahami realitas dirinya sendiri.

Gobind juga menjelaskan tentang Peta Kesadaran Manusia yang ia kutip dari seorang filsuf, David Hawkins. Penjelasan terhadap hal ini ia tujukan untuk mengajak setiap orang memahami level kesadaran diri. Sebuah pemahaman penting yang akan mengantarkan kita menemukan kontrol terhadap kesadaran kita sendiri.

Di tengah pesatnya teknologi informasi, pemahaman bahwa “kita hidup di dalam dunia persepsi” memang telah menjadi hal yang cukup serius. Semakin nyata bahwa hari ini media telah banyak mengarahkan opini setiap orang, banyak nilai-nilai yang ditelurkan di masyarakat yang sebenarnya bersumber dari sesuatu yang bersifat artifisial. Nilai-nilai ekonomi yang berujung kepada sikap konsumtivisme, nilai-nilai politik yang berujung pada sikap pengabdian buta terhadap sebuah ideologi tertentu, atau nilai-nilai budaya yang berujung pada sikap yang ambigu terhadap modernisme yang malah bermakna “pembaratan”, dan lain sebagainya.

Banyak permasalahan kehidupan yang sebenarnya bersumber dari sebuah kesalahan persepsi. Namun, melalui refleksi terhadap diri kita sebagai obyek di tengah realitas dunia, dan melalui pemetaan kesadaran yang melahirkan kontrol diri, kita akan menemukan dunia yang dibangun di atas nilai-nilai yang lebih otentik. Dunia yang selain akan menjadi lebih baik, juga akan menjadi lebih berarti untuk kehidupan kita yang bermakna.

160128101621_gobind_vashdev_4_640x360_bbc_nocredit

Sumber gambar: http://www.bbc.com