Archive | 18 Agustus 2018

Seri Pembahasan Manajemen Kelas | Pengantar

Kemampuan Manajemen Kelas bagi guru adalah sesuatu hal yang sangat penting di samping kemampuan merancang kegiatan belajar. Kemampuan ini berguna untuk memastikan jika rancangan belajar yang sudah disiapkan bisa berjalan dengan baik. Namun, sayangnya materi ini tidak dipelajari di perguruan tinggi jurusan pendidikan. Dulu aku sampai membuka-buka kembali transkip nilaiku dan juga istriku

(dengan jurusan pendidikan dan kampus yang berbeda) untuk memastikan materi ini memang tidak kami dapatkan selama kuliah. Ternyata benar, yang ada hanya mata kuliah Pengelolaan Pendidikan yang bahasannya sama sekali berbeda dengan Manajemen Kelas.

logo_classroom_management

Di luar ketiadaannya di mata kuliah jurusan pendidikan, nampaknya ilmu tentang Manajemen Kelas juga tidak menjadi perhatian utama di kalangan guru di sekolah umum. Alhasil, kerap terjadi persoalan pengajaran seperti kelas yang sulit diatur atau murid yang tidak mau belajar, yang sebenarnya bersumber dari kealpaan guru untuk mempertimbangkan soal Manajemen Kelas yang efektif dan efisien.

Jadi, apa itu Manajemen Kelas? Untuk memperdalam pemahaman definisi, kita bisa membuka sumber lain mengenai pengertian-pengertian dari para ahli. 😊 Namun, secara sederhana, Manajemen Kelas adalah kemampuan guru untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan kelasnya agar proses belajar-mengajar dapat terlaksana dengan baik.

Nah, berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa unsur Manajemen Kelas yang bisa kita, sebagai guru, pelajari dan praktikkan agar kegiatan mengajar kita dapat berjalan dengan sukses. Unsur-unsur ini (secara tertulis) saya dapatkan dari materi pelatihan guru di Sekolah Cikal dengan beberapa pengembangan (perubahan dan tambahan) dari saya sendiri. Unsur-unsur tersebut adalah: Mengatur lingkungan fisik, membangun iklim belajar yang kondusif, dan mendorong interaksi yang positif.

Setiap unsur-unsur tersebut aku coba bahas lebih rinci dalam rangkaian tulisan yang terpisah. Kita bisa melihatnya dengan mengkliknya satu persatu di paragraf sebelumnya. Akhir kata, semoga seri tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Selamat belajar😉

Tentang Idealisme dan Keteguhan Hati untuk Mempertahankannya

Siang tadi di ruang guru, seorang teman berkata dengan santai saat dia sedang berbincang dengan temanku yang lain, “Nih, si akang nih masih idealis. Liat aja nanti kalo udah tua. …” Seketika aku yang sedang tertegun memainkan handphone langsung terhenyak. “Apa maksudnya? Idealis apa?” Aku mencoba memastikan apa yang aku dengar. “Ya, ente sekarang kan masih idealis, tapi lihat nanti, sekarang kan ente masih muda, lihat aja nanti beberapa tahun yang akan datang” terangnya sambil tertawa, memperjelas apa yang ia sampaikan di awal. Mendengar pernyataan demikian, emosiku tiba-tiba saja terpancing. Akhirnya dengan nada serius aku katakan dengan tegas, “Saya tidak main-main. Saya akan tetap seperti ini sampai mati!”

Berselang waktu kemudian aku berpikir, “Kenapa aku harus merasa seemosional itu?” Kenapa aku hampir terpancing untuk “marah”? Ada apa sebenarnya dengan diriku? Ayolah, obrolan tadi kan tidak serius. Hanya kelakar-kelakar santai di ruang guru saja. Kenapa aku harus menanggapinya dengan serius? Akhirnya, dari pertanyaan-pertanyaan itu aku mencoba memikirkan lebih jauh soal idealisme dan pengalaman hidupku.

Menelusur Idealisme

Temanku menganggapku sebagai seorang idealis, mungkin karena pendapat-pendapat yang sering aku kemukakan setiap kali kami berdiskusi tentang segala hal di warung kopi, terutama tentang obrolan politik dan pendidikan. Secara umum kata idealis disematkan kepada seseorang yang memiliki pandangan yang ideal tentang sesuatu hal. Lebih jauh, idealis berarti seseorang yang menginginkan terciptanya kondisi yang ideal, terutama atas apa yang sedang terjadi di kehidupan masyarakat.

Aku idealis? Ya. Aku yakini itu. Tapi darimana ini bermula? Aku coba menelusur kembali ke masa lalu.

Sejak kecil aku sudah mempunyai cita-cita, setidaknya mulai aku nyatakan sejak SMP, bahwa aku ingin bisa membantu orang lain, merubah keadaan. Keadaan seperti apa yang ingin aku ubah? Keadaan teman-teman rumahku dan masyarakat di mana aku tumbuh, yang penuh dengan drama-drama kemiskinan: Kekerasan, putus sekolah, kesulitan hidup, keburukan sanitasi dan tempat tinggal, dan lain sebagainya. Kondisi yang benar-benar berkebalikan dengan apa yang aku pelajari di sekolah, bahwa negara kita adalah negara yang kaya dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Sejak kecil aku sudah memiliki kesadaran, bahwa ada yang salah dengan semua kondisi itu.

Berlanjut di SMA, saat aku memilih dengan yakin untuk masuk ke jurusan IPS dan meneruskan tradisi berdiskusi dengan teman-teman tentang kondisi negara dan isu-isu seperti pemilu, demokrasi, dan arti kemerdekaan. Akhirnya, meski nilaiku tidak pernah cemerlang, karena kurang serius mengerjakan tugas dan menyiapkan ujian, teman-teman sekolahku mengenalku sebagai orang yang mahir dalam pelajaran ilmu tata negara.

Di kampus, kondisinya tidak jauh berbeda, meski IPK ku tidak pernah cemerlang, tapi teman-teman mengenalku sebagai orang yang pandai berdiskusi. Oleh karenanya, hal itu yang mengantarkanku untuk berkarir dengan mulus di sebuah organisasi ekstra kampus yang terkenal kritis dan cukup “radikal” pada masa itu. Di titik itu, atas euforia hasrat perlawanan di usia remaja dan kajian yang cukup mendalam terhadap ilmu sosial kritis, pemahamanku tentang kondisi yang ideal semakin kuat terbentuk. Aku semakin idealis.

Selepas berkuliah, beberapa kali aku berpikir, sampai kapan aku akan tetap seperti ini, bersikeras dengan idealisme untuk bisa merubah keadaan. Bersikeras dengan ide-ide kritis yang seringkali tidak sejalan dengan pandangan orang pada umumnya. Terutama saat seiring dengan waktu aku melihat teman-teman seperjuangan yang lain perlahan mulai berguguran: Berhenti bersikap idealis dan memilih menjadi seperti orang pada umumnya dengan alasan yang sederhana: Menjadi idealis itu tidak nyaman, menghabiskan waktu dan energi, sedangkan menjadi orang pada umumnya relatif aman dan nyaman. Anggaplah kita sedang berenang, bukankah lebih baik mengikuti arus sungai yang deras daripada bersikeras untuk bertahan atau bahkan melawannya? Di tengah kondisi ini, pilihan untuk tetap bertahan kerap menyisakan kesedihan dan kekecewaan karena semakin lama kita semakin merasa sendirian.

Anatomi Idealisme

Semakin sulit mempertahankan idealisme di usia mapan. Selain karena menjadi berbeda dengan orang kebanyakan, idealisme juga butuh banyak pengorbanan. Hal yang semakin sulit kita tawar terlebih ketika kita sudah berkeluarga dan benar-benar membutuhkan kemapanan untuk mempertahankannya.

Namun, aku tetap bersikeras. Sementara aku menyadari hal baru, banyak kawan yang meninggalkan idealisme karena umumnya mereka hanya menyandarkan idealismenya atas dua hal: Tumbuhnya hasrat perlawanan di usia menjelang dewasa dan keterpesonaan atas kajian kritis yang anti mainstream (ide-ide kiri dan yang selaras dengannya). Ya, akupun demikian, tapi apa yang terus menjaga hasrat idealismeku tetap menyala? Jawabannya ada pada awal di mana idealisme itu terbentuk: “Keinginan untuk membantu orang lain dan merubah keadaaan”.  Namun, bukankah orang lain juga memiliki keinginan yang sama atas hal itu pada awalnya?

Baiklah, untuk menyederhanakan, kita anggap idealisme seseorang terbentuk atas 3 hal: 1. Tumbuhnya hasrat perlawanan di usia menjelang dewasa, 2. Keterpesonaan atas kajian kritis yang anti mainstream, dan 3. Keinginan untuk merubah keadaan. Nah, persoalannya, ketiga hal ini memiliki tempat yang berbeda untuk setiap orang. Manakah yang menjadi sandaran utama? Manakah yang menjadi the main point of desire?

Jika jawabannya yang pertama, maka idealisme akan berkurang atau bahkan hilang seiring dengan bertambahnya usia. Jika jawabannya yang kedua, maka idealisme akan berkurang seiring dengan terpenuhinya hasrat keilmuan atas ide-ide anti mainstream yang semakin lama biasanya terasa membosankan dan semakin tidak rasional. Namun, jika jawabannya yang ketiga, maka idealisme akan berkurang jika kondisi masyarakat memang sudah berubah menjadi lebih baik (Atau lebih jauh, idealisme akan terus bertahan karena kondisi yang baik juga sejatinya butuh untuk dipertahankan).

Lalu bagaimana dengan seseorang yang dari awal berkeinginan merubah keadaan, menjadi idealis, namun kemudian juga menyerah karena merasa keadaan terlalu rumit untuk bisa dirubah? Ya, berarti ia tidak cukup baik memiliki poin yang kedua (Baca: Tidak cukup radikal memahami sesuatu hal). Atau jangan-jangan, keinginan untuk merubah keadaaan itu tidak dibarengi dengan energi yang cukup untuk mempertahankannya.

Aku berpikir, aku beruntung karena mempunyai ketiga unsur itu dan memiliki unsur yang ketiga sebagai sandaran utamanya. Lalu, dari mana aku mendapatkan energi yang cukup untuk mempertahankannya? Ternyata jawabannya adalah: Keteguhan hati untuk mempertahankan prinsip kebenaran dan meyakini sesuatu yang bernilai untuk diperjuangakan.

Pengorbanan dan Harapan Atas Idealisme

Tidak mudah mempertahankan idealisme. Sesederhana mempertahankan sesuatu yang kita yakini benar di tengah banyak persinggungan dan gesekan dengan faktor lain di sekeliling kita, hingga serumit memperjuangkan cita-cita besar dengan segenap peluh dan keringat untuk mewujudkannya.

Idealisme yang membuatku bertahan menyusun skripsi selama bertahun-tahun, membuang-buang waktu yang berharga, sekadar ingin menantang arogansi sang dosen dengan paradigma positivisnya yang sering merasa alergi dengan ide-ide kritis dari mahasiswa. Idealisme yang juga tanpa sadar telah membantu memporakporandakan bangunan keluarga kecil yang pernah aku miliki. Idealisme yang pada awalnya mendorongku memilih profesi bergaji rendah padahal aku bisa memilih pekerjaaan lain yang lebih menjajikan secara finansial. Idealisme yang kini, membuatku bekerja hampir 12 jam perhari karena mengurus pekerjaan reguler dan menambahnya dengan pekerjaan lain di bidang kerelawanan. Idealismelah penyebab semua pilihan sulit yang aku jalani. Idealismelah yang membuatku tegap berprinsip hingga sampai di titik ini. Saat ini.

Karena hingga kini aku yakin, idealisme adalah faktor terpenting untuk mendorong perubahan yang lebih besar, bukan soal perubahan untuk diri sendiri. Karena perubahan untuk skala besar bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan, maka para idealis adalah tokoh kunci untuk merealisasikannya. Aku yakin, orang-orang idealis dibutuhkan untuk merubah keadaan negara ini menjadi lebih baik. Bukankah Sukarno dan para founding father kita telah membuktikannya? Maka menyerahnya para idealis telah mengundurkan momentum perubahan dan kemajuan untuk kondisi perubahan yang sama-sama kita inginkan.

Di usiaku yang sudah melewati kepala tiga, sudah banyak tantangan, pengorbanan, kekecewan, dan jatuh bangun harapan yang aku alami. Atas pengalaman itu, pantas saja alam bawah sadarku tergelitik saat seseorang berkata dengan santainya jika idealismeku akan luntur seiring dengan bertambahnya usia.

Semoga, dengan landasan historis yang kuat dan anatomi yang utuh, aku akan tetap menjadi seorang idealis untuk memperjuangkan apa yang aku yakini benar demi terciptanya perubahan kondisi masyarakat yang sejak awal aku cita-citakan.

Semoga Tuhan meridhoi apa yang aku katakan dengan serius di siang tadi, “Saya tidak main-main. Saya akan tetap seperti ini sampai mati!”